08.35

Peranan Perbankan Syari’ah Di Era Modern

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) dalam kehidupan kita adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut identitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Secara garis besar, fungsi Bank Syariah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Sedangkang rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Disadari atau tidak memang pada beberapa tahun terakhir belakangan ini, perbankan syariah mulai banyak dilirik oleh masyarakat Indonesia. Bahkan peminat perbankan syari’ah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu disebabkan karena memang perbangkan syari’ah dinilai sangat menjanjikan dan tidak merugikan bagi para nasabahnya. Selain itu prospek untuk kedepan juga dinilai jelas dan tidaklah mengecewakan. Sehingga semakin tahun peranan perbankan syari’ah semakin diminati dan digemari oelh masyarakat Indonesia.
Di Yogyakarta sendiri misalnya, berawal dari semakin pesatnya laju pertumbuhan dan banyaknya minat para nasabah terhadap perbankan syari’ah, maka pada tahun 2008 ini, perbankan syari’ah akan mulai mengoperasikan tiga cabangnya. Tiga cabang yang akan beroperasi tahun ini yakni BPRS Dana Sejahtera, BPRS Mitra Amal Mulai, serta BPRS Mandiri Sejahtera. Ketiga cabang perbankan tersebut diharapkan agar mampu untuk mendobrak perekonomian Indonesia yang semakin hari semakin mengalami kemrosotan yang cukup drastis. Sehingga dikawatirkan perekonomian di Indonesia tidak bias pulih seperti biasanya.
Meskipun laju perkembangannya semakin pesat, namun tetap saja masih ada berbagai kendala yang menyebabkan lemahnya atau lambanya pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonisia untik ke depannya. Kendala yang paling utama yakni minimnya suplai sumber daya manusia (SDM) untuk perbankan syari’ah. Dengan keadan yang demikian maka untuk kedepanya perbankan syariah harus mencari tenaga ahli yang berkompetensi di bidangnya.
Maka dibutuhkan tenaga-tenaga ahli dan handal yang mampu untuk mengoperasikan pembangunan perbankan syari’ah kedepan secara sistematis. Agar perbankan syari’ah dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan masyarakat indonesia, yakni untuk memakmurkan serta mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang sudah diambang kemiskinan. Semoga saja semua itu tidklah mimpi dan mampu berjalan sesuai prosedur yang ada.

Diambil Dari http://miftahblogspotcom.blogspot.com/2008/05/peranan-perbankan-syariah-di-era-modern.html

08.34

OPTIMALISASI PERANAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF BAGI SEKTOR USAHA KECIL-MENENGAH

Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan salah satu agen pembangunan (agent of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), yaitu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Adanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dana bagi negara dan masyarakat guna menunjang jalannya proses pembangunan.
Sektor hukum perbankan di Indonesia mengalami perkembangan signifikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hal ini terjadi karena di dalam kebijakan perbankan di Indonesia pasca diundangkannya undang-undang ini secara tegas mengakui eksistensi dari bank islam (islamic banking) atau yang lebih kita kenal dengan bank syariah.
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengenal bank syariah semata-mata hanya bank yang mendasarkan pengelolaannya berdasarkan bagi hasil, maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 secara tegas mengakui eksistensi bank dengan Prinsip Syariah disamping bank konvensional yang berbasis pada bunga.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, Prinsip Syariah diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Dengan melihat pengertian prinsip syariah sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa produk perbankan syariah lebih variatif di bandingkan dengan produk pada bank konvensional. Hal mana produk pada bank syariah dirasakan dapat memenuhi kebutuhan nasabah deposan maupun nasabah debitur sesuai dengan kebutuhan nyata mereka. Khususnya dalam hal penyaluran dana kepada masyarakat, maka skim pembiayaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah.
Sementara itu sektor ekonomi di Indonesia secara faktual sebagian besar didukung oleh sektor usaha kecil dan menengah atau dikenal dengan singkatan UKM. Pada saat krisis ekonomi pun ternyata sektor ini mampu tetap bertahan, artinya sektor UKM mempunyai keunggulan dan sangat potensial untuk lebih dikembangkan lagi melalui suatu kebijakan yang tepat dan dukungan dari lembaga yang tepat. Adapun permasalahan utama yang dihadapi oleh sektor UKM adalah berupa permodalan, dimana terkadang dalam memperoleh modal dari bank mengalami kesulitan. Salah satu hal yang menyebabkan adanya hal ini adalah adanya suku bunga kredit yang tinggi dan diperlukannya jaminan kebendaan (collateral minded) yang sukar dipenuhinya.
Dengan semaraknya perkembangan sektor perbankan syariah, terutama pasca Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 maka diharapkan dapat lebih membantu perkembangan UKM ini. Melalui pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan karakteristik yang berbeda dengan kredit/pinjaman (loan) dari bank konvensional, maka UKM akan dapat memenuhi kebutuhan permodalan dimaksud.
Permasalahan yang muncul kaitannya dengan hal ini adalah mengenai jenis pembiayaan apa yang cocok untuk UKM dan bagaimana sebaiknya bank syariah menyikapi kebutuhan dari UKM.
Usaha Kecil-Menengah dan Produk Pembiayaan Perbankan Syariah yang Sesuai
Dalam Pembangunan Nasional, UKM adalah bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi.[1]
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kelangsungan suatu kegiatan usaha perlu didukung oleh permodalan dan sumber daya manusia yang memadahi. Namun dalam praktiknya UKM seringkali kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan, satu dan lain hal karena suku bunga pinjaman yang tinggi dan berdasarkan analisis kredit khususnya terkait dengan jaminan “dianggap” tidak memenuhi.
Dengan demikian sektor perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang mengemban misi bisnis (tijarah), sekaligus misi sosial (tabarru) sudah seyogyanya mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan sektor UKM dimaksud. Untuk kepentingan UKM suatu bank syariah hendaknya mampu secara cermat mengetahui kebutuhan nyata yang ada pada UKM yang bersangkutan. Hal ini penting karena karakteristik produk pembiayaan yang ada pada perbankan syariah bervariasi dan masing-masing hanya menjawab pada kebutuhan tertentu. Adapun beberapa motif dan kebutuhan yang ada pada nasabah debitur yang dalam hal ini adalah UKM dan produk perbankan syariah yang sesuai dapat dikategorikan antara lain sebagai berikut:
Pertama, UKM yang membutuhkan adanya barang modal sebagai sarana dalam proses usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad jual beli, khususnya pembiayaan murabahah. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.[2]murabahah ini, yaitu:[3] Adapun persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan
a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang.
b. jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
d. dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;
e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank;
g. kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad;
h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.
Selain pembiayaan murabahah, UKM yang membutuhkan adanya barang modal bisa juga diberikan pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa. Pembiayaan yang didasarkan akad sewa-menyewa dalam praktik perbankan syariah dibedakan menjadi dua, yakni pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bittamlik (IMBT). Dalam pembiayaan ijarah kedudukan bank adalah sebagai pemberi sewa sehingga berhak atas uang sewa (ujrah) dan pengembalian obyek sewa-menyewa[4] di akhir masa sewa, sedangkan UKM selaku nasabah berkedudukan sebagai pihak penyewa yang wajib membayar uang sewa dan mengembalikan obyek sewa-menyewa di akhir masa sewa. Kemudian dalam hal UKM yang bersangkutan disamping bermaksud mendapatkan manfaat atas suatu barang modal juga berkeinginan untuk memiliki barang yang bersangkutan di akhir masa sewa, maka ia dapat mengajukan permohonan pembiayaan IMBT.
Kedua, UKM dalam tahap pendirian yang membutuhkan modal kerja dan UKM yang membutuhkan tambahan modal untuk kepentingan ekspansi usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil berupa pembiayaan mudharabah atau pembiayaan musyarakah. Mudharabah diartikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Adapun musyarakah[5] adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.
Persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan mudharabah ini, yaitu:[6]
  1. Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha;
  2. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
  3. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
  4. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
  5. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya;
  6. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar;
  7. pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
  8. Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha;
  9. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
  10. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
  11. pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
  12. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha dari usaha mudharib;
  13. dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan;
a) nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib;
b) atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan nasabah;
  1. pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan
  2. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Sedangkan persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan musyarakah, yaitu sebagai berikut:[7]
  1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
  2. nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati;
  3. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha;
  4. pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
  5. dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
  6. jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
  7. biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
  8. pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
  9. Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak;
  10. nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
  11. nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
  12. pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
  13. pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah;
  14. pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha; dan
  15. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan atau kecurangan.
Ketiga, UKM yang sedang mengalami kesulitan keuangan, bahkan mungkin harus segera mendapatkan dana segar untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya (liability) kepada pihak ketiga. Bank syariah ketika menemukan UKM yang seperti ini adalah tepat ketika memberikan pembiayaan yang bersifat pinjaman tanpa bunga atau yang dikenal dengan pembiayaan qardh atau pembiayaan qardh al-hasan. Dalam Pasal 1 angka 11 PBI No. 7/46/PBI/2005, qardh diartikan sebagai pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian pembiayaan qardh ini hanya diberikan dalam keadaan darurat (emergency), atau dapat juga diberikan bagi UKM pada awal pendiriannya, akan tetapi mempunyai reputasi yang bagus dalam arti kejujuran pengelolanya.
Adapun untuk mendapatkan pembiayaan qardh ini persyaratan minimal yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 18 PBI No. 7/46/PBI/2005 adalah sebagai berikut:
  1. Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
  2. nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima pada waktu yang telah disepakati;
  3. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan dengan pemberian pinjaman Qardh;
  4. nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad;
  5. dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban kerugian Bank;
  6. dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas kelambatan pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup kewajiban pinjaman nasabah;
  7. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak;
  8. sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari Dana Pihak Ketiga yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan kepentingan nasabah pemilik dana.
Sedangkan pembiayaan qardh al-hasan yang merupakan pinjaman kebajikan adalah pinjaman yang selain bebas bunga juga memang ditujukan untuk nasabah yang benar-benar tidak mampu akan tetapi membutuhkan dana untuk tetap melangsungkan kehidupannya. Untuk itu dalam qardh al-hasan pihak peminjam pada dasarnya tidak wajib mengembalikannya dalam hal memang tidak mampu mengembalikannya.
Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah memiliki produk-produk pembiayaan yang bervariasi dan dapat disesuikan dengan kebutuhan riil pada diri nasabah, baik itu nasabah perorangan maupun badan usaha. Untuk itu yang dibutuhkan berikutnya kaitannya dengan pengembangan UKM adalah diperlukannya optimalisasi pembiayaan produktif yang ada melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan bank sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Optimalisasi Pembiayaan Produktif dalam Rangka Pengembangan Usaha Kecil- Menengah
Perbankan merupakan sebuah lembaga keuangan yang sarat akan pengaturan, sehingga para ahli sering mengatakan bahwa bank adalah the most regulated industry in the world. Di Indonesia selain didasarkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, secara teknis Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan juga telah mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI), misalnya PBI No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dari regulasi di bidang perbankan ini dapat ditarik beberapa prinsip berkaitan dengan pengelolaan bank yang berlaku bagi bank konvensional dan bank syariah. Prinsip-prinsip operasional bank dimaksud terdiri dari prinsip kepercayaan (fiduciary principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (confidential principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle). Keempat prinsip ini saling terkait satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan optimalisasi pembiayaan produktif ini, maka penerapan prinsip-prinsip pengelolaan bank menjadi suatu keniscayaan. Bahwa hubungan bank dan nasabah didasarkan pada prinsip kepercayaan, sehingga perlu adanya hubungan saling percaya antara nasabah dengan bank. Dalam rangka mendapatkan rasa saling percaya maka bank hendaknya mengenal dengan baik karakter dan segala sesuatu yang berkaitan dengan nasabah. Adapun caranya adalah melalui studi kelayakan (feasibility study), misalnya dengan menggunakan prinsip 5 C (The 5’C Principle), yakni menganalisis nasabah yang dalam hal ini adalah UKM pada aspek watak (Character), modal (Capital), kemampuan dalam melunasi kewajiban (Capacity), kondisi ekonomi (Condition of Economic), dan jaminan (Collateral).
Dengan melakukan studi kelayakan dengan cermat, maka berarti pihak bank syariah telah melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential principle) sehingga dalam menyalurkan pembiayaan, khususnya pembiayaan produktif yang dalam hal ini ditujukan bagi pengembangan UKM adalah tepat sasaran dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata dari UKM yang bersangkutan. Melalui studi kelayakan ini juga dapat meminimalisir terjadinya pembiayaan bermasalah (non performing finance), sehingga proses pelaksanaan pembiayaan produktif dapat berjalan optimal. Kemudian baik UKM maupun bank syariah masing-masing mendapatkan manfaat dan keuntungan sesuai dengan perjanjian pembiayaan yang telah dibuatnya. Pada akhirnya dengan suksesnya pembiayaan bagi UKM, berarti juga merupakan kontribusi perbankan syariah terhadap proses pembangunan di Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur materiil maupun spirituil.
Penutup
Perbankan merupakan agen dari pembangunan, sehingga dalam melaksanakan kegiatan usahanya seyogyanya tidak hanya berpihak pada golongan ekonomi menengah ke atas, tetapi ia juga mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan di tataran akar rumput (grass root). UKM sebagai sektor usaha yang dimiliki oleh masyarakat kebanyakan hendaknya diberikan kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan produktif, tentu saja setelah melalui proses studi kelayakan yang cermat sehingga proses jalannya pembiayaan tepat sasaran dan masing-masing mendapatkan manfaat dan keuntungan secara lebih adil.
Hal ini semua dapat dipenuhi oleh perbankan syariah dengan syarat bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan bank yang ada. Dengan demikian optimalisasi pembiayaan produktif bagi UKM oleh perbankan syariah bisa diwujudkan.
Reference:
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
PBI (Peraturan Bank Indonesia) No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

09.51

Tantangan Ekonomi Syariah Dan Peranan Ekonom Muslim

Kemunculan ilmu Islam ekonomi modern di panggung internasional, dimulai pada tahun 1970-an yang ditandai dengan kehadiran para pakar ekonomi Islam kontemporer, seperti Muhammad Abdul Mannan, M. Nejatullah Shiddiqy, Kursyid Ahmad, An-Naqvi, M. Umer Chapra, dll. Sejalan dengan itu berdiri Islamic Development Bank pada tahun 1975 dan selanjutnya diikuti pendirian  lembaga-lembaga  perbankan dan keuangan Islam lainnya di berbagai negara. Pada tahun 1976 para pakar ekonomi Islam dunia berkumpul untuk pertama kalinya dalam sejarah pada International Conference on Islamic Economics and Finance, di Jeddah. 
    Di Indonesia, momentum kemunculan ekonomi Islam dimulai tahun 1990an, yang ditandai berdirinya Bank Muamalat Indoenesia tahun 1992, kendatipun benih-benih pemikiran ekonomi dan keuangan Islam telah muncul jauh sebelum masa tersebut. Sepanjang tahun 1990an perkembangan ekonomi syariah di Indonesia relatif lambat. Tetapi pada tahun 2000an terjadi gelombang perkembangan yang sangat pesat ditinjan dari sisi pertumbuhan asset, omzet dan jaringa kantor lembaga perbankan dan keuangan syariah. Pada saat yang bersamaan juga mulai muncul lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam, walaupun pada jumlah yang sangat terbatas, antara lain STIE Syariah di Yogyakarta (1997), D3 Manajemen Bank Syariah di IAIN-SU di Medan (1997), STEI SEBI (1999) , STIE Tazkia (2000), dan PSTTI UI yang membuka konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Islam, pada tahun 2001.

Lima tantangan dan problem besar
Namun demikian, sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan Islam, ekonomi Islam menghadapi berbagai permasalahan dan  tantangan-tantangan yang besar. Dalam usia yang masih muda tersebut, setidaknya ada lima  problem dan  tantangan yang dihadapi ekonomi Islam saat ini, pertama, masih minimnya pakar ekonomi Islam berkualitas yang menguasai ilmu-ilmu ekonomi modern dan ilmu-ilmu syariah secara integratif. . Kedua, ujian atas kredibiltas sistem ekonomi dan keuangannya, ketiga, perangkat peraturan, hukum dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional masih belum memadai . Keempat, masih terbatasnya perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam dan masih minimnya lembaga tranining dan consulting dalam bidang ini, sehingga SDI di bidang ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas dan belum memiliki pengetahuan  ekonomi syariah yang memadai. Kelima , peran pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, masih rendah terhadap pengembangan ekonomi syariah, karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan mereka tentang ilmu ekonomi Islam
Gerakan Menghadapi Tantangan
    Sadar akan berbagai problem tersebut ditambah dengan kondisi ekonomi bangsa (umat)  yang masih terpuruk, maka tiga tahun lalu, para ekonom muslim yang terdiri dari akademisi dan praktisi ekonomi Islam se-Indonesia berkumpul di Jakarta, tepatnya di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 Maret 2004 dalam sebuah forum Konvensi Nasional   Ekonomi Islam. Keesokan harinya, bertempat di Universitas Indoensia, yakni pada tanggal 4 Maret 2004, dideklarasikan-lah  lahirnya sebuah wadah Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) oleh  para tokoh ekonomi Islam nasional, Gubernur Bank Indonesia, BurhanuddinAbdullah, ulama (MUI), K.H Maruf Amin, Direktur Utama Bank Muamalat, A.Riawan Amin, Ketua Umum BAZIS saat itu Ahmad Subianto,  dan pakar ekonomi Islam  dari Timur, Prof. Halidey, dan disaksikan ratusan  ahli/akademisi dan  praktisi ekonomi syariah se Indoensia.   
    Dari acara konvensi nasional  dan deklarasi IAEI tersebut perlu dicatat, bahwa para akademisi, praktisi, ulama dan regulator (BI), bergabung, bersinergi dan memiliki visi yang sama untuk mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia, setelah sehari sebelumnya  mendapat dukungan dan respon positif dari Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz,  saat itu.   Ketika itu, ada keyakinan bersama, yaitu jika berbagai elemen penting dari umat tersebut bersinergi, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, ekonomi Islam akan mampu memberikan konstribusi yang besar dan nyata bagi pembangunan ekonomi bangsa yang sekian lama terpuruk dalam krisis moneter dan ekonomi.
    Oleh karena itu IAEI  merumuskan visinya, yaitu menjadi wadah para pakar ekonomi Islam yang memiliki komitmen dalam mengembangkan dan menerapkan ekonomi syariah di Indonesia.  
    Sebagai sebuah wadah assosiasi para pakar dan profesional, IAEI lebih mengutamakan program   pengembangan Ilmu Pengetahuan di bidang ekonomi syariah melalui riset ilmiah untuk dikonturibusikankan bagi pembangunan ekonomi,  baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Karena itu IAEI terus bekerja membangun tradisi ilmiah di kalangan akademisi dan praktisi ekonomi syariah di Indonesia.
   Misi IAEI selanjutnya ialah menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas di bidang ekonomi dan keuangan Islam melalui lembaga pendidikan dan kegiatan pelatihan. Juga, membangun sinergi antara lembaga keuangan syariah, lembaga pendidikan dan pemerintah dalam membumikan ekonomi syariah di Indonesia. Selain itu IAEI juga akan berusaha membangun jaringan dengan lembaga-lembaga internasional, baik lembaga keuangan, riset maupun organisasi investor internasional
Peranan IAEI
    Dalam perjalanannya yang masih relatif baru, IAEI telah banyak berperan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia. IAEI telah banyak menggelar berbagai kegiatan, walaupun dengan dukungan  dana yang terbatas, seperti Simposium Kurikulum Nasional, Rapat Kerja Nasional I IAEI di Arthaloka, PNM, Seminar Perbankan Syariah, dsb.
IAEI  juga telah melaksanakan Muktamar IAEI di Medan pada 18-19 September 2005 yang dirangkaikan  dengan Seminar dan Simposium Internasional Ekonomi Islam sebagai Solusi. Pada momentum itu juga dilakukan penyunan draft blueprint Ekonomi Islam Indonesia.
Pasca muktamar IAEI  juga telah banyak dilaksanakan berbagai program lkegiatan, antara lain, mendorong dan mengadvise diselengarakannya kajian, konsentrasi maupun Program Stdui Ekonomi islam, baik di D3, S1, S2 maupun S3 Ekonomi Islam. Berbagai kegiatan seminar dan workshop ekonomi syariah telah digelar, Silaturrahmi Nasionalk IAEI, diskusi ilmiah bulanan antar kampus yang secara rutin dilaksanakan.
IAEI juga berperan aktif dalam penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Islam Indoneia yang diprakarsai baik oleh BPHN (Departemen Hukum dan Perundang-Undangan) maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selain itu, IAEI seringkali diundang sebagai pembicara (nara sumber) dalam forum-forum ilmiah tentang ekonomi Islam, baik taraf nasional maupun internasional. IAEI juga telah beberapa kali memberikan materi ekonomi dan bank syariah kepada para ulama, seperti terhadap Korps Muballigh Jakarta dan Majalis Ulama di daerah.  IAEI juga telah bekerjasama  dengan FoSSEI melaksakanan Olympiade Ekonomi Syariah memperebutkan piala bergilir IAEI sejak tahun 2007. Penerbitan buletin ekonomi syariah dan penulisan artikel ekonomi syariah di koran juga telah banyak dilakukan IAEI.
    Selain itu, IAEI juga telah membentuk kepengurusan IAEI di berbagai wilayah propinsi,  daerah serta komisariat-komisariat di berbagai Perguruan Tinggi. Banyak di antaranya telah dilantik sebagai pengurus IAEI wilayah maupun komisariat. Kini terdapat lebih dari 30 Pengurus DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) dan Komisariat IAEI yang tersebar di seluruh Indonesia.
Penutup
    Demikianlah peran ekonom muslim yang tergabung dalam IAEI diusianya yang relatif muda tersebut. Mudah-mudahan peranan yang dimainkan IAEI di masa depan lebih besar dan signifikan lagi untuk menegakkan ekonomi yang berkeadilan yang membawa rahmat bagi semua elemen bangsa. Selanjutnya diharapkan semua lembaga ekonomi syariah, regulator, ulama, akademisi, para pengusaha (aghniya) hendaknya bersinergi menyatukan langkah membangun bangsa ini, karena IAEI sebagai sebuah wadah para ahli ekonomi Islam tidak akan mampu menghadapi tantangan dan problem besar yang sedang kita hadapi tanpa adanya sinergi dan kebersamaan di antara berbagai elemen tersebut. Dengan mengharap bantuan Allah dan komitmen kita bersama Insya Allah kemaslahatan bangsa (kesejahteraan material dan spiritual) dapat terwujud. Amin

20.30

PENGARUH TINGKAT DEBT FINANCING DAN EQUITY FINANCING TERHADAP PROFIT EXPENSE RATIO PERBANKAN SYARIAH

Sejarah baru perkembangan perbankan Indonesia, ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992 dan dikeluarkannya UU No.7/1992, tentang perbankan. Dimana pada UU No.7/1992 pasal 6 huruf “m” menyebutkan bahwa bank umum dapat melakukan usaha pembiayaan bagi nasabah berdasarkan “prinsip bagi hasil”sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah

Selanjutnya kemudian dilakukan amandemen terhadap UU No.7/1992 yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 10/1998. Pada UU No.10/1998 pasal 6 huruf “m” makin diperjelas bahwa bank umum dapat melakukan usaha “menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan “Prinsip Syariah”, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Untuk mempercepat implementasi UU No.10/1998, Bank Indonesia mengeluarkan PBI No.4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional.

Momentum penting lainnya yang mendukung perkembangan bank syariah di Indonesia adalah tepat tanggal 16 Desember 2003 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa MUI yang menyatakan bahwa bunga bank adalah haram. Hal ini menjadi pendorong sejumlah bank untuk mulai membuka unit usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dan terbukti dengan melihat tabel di bawah ini menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari perkembangan perbankan syariah dilihat dari jumlah dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan.


Namun ada masalah seiring dengan pesatnya perkembangan jumlah bank syariah dan jumlah aset dari bank syariah tersebut. Yaitu pembiayaan mayoritas disalurkan pada debt financing yaitu sebesar 70,93% dengan komposisi murabahah 66.42%;lainnya 4,51%, sedangkan pembiayaan bagi hasil ( equity financing) hanya sebesar 29,07% dengan komposisi mudharabah 18,05%;musyarakah 11,02%. Hal ini dimaklumi bahwa debt financing mendominasi dunia perbankan syariah di awal – awal perkembangannya sebagian masih memandangnya wajar, karena berbagai kendala yang dihadapi dalam pembiayaan bagi hasil(equity financing). Kendala itu dapat bersifat internal maupun eksternal. Menurut Ascarya (peneliti senior Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia)

“Kendala internal adalah perbankan syariah masih terdapat masalah seperti pemahaman akan esensi perbankan syariah yang masih kurang, adanya orientasi bisnis dan usaha yang lebih diutamakan, kualitas serta kuantitas Sumber Daya yang belum memadai, sikap aversion to effort serta aversion to risk.”

Sehingga bank syariah menilai bahwa pembiayaan dengan sistem bagi hasil (equity financing) memiliki resiko tinggi dalam hal kerugian yang dapat terjadi dalam kurun waktu pembiayaan tersebut sehingga dapat menurunkan laba perusahaan karena pembiayaan bagi hasil tidak hanya bersifat berbagi untung tetapi juga berbagi rugi tetapi bila kerugian itu bukan merupakan kesalahan/kelalaian pihak yang diberi pembiayaan. Hal tersebutlah yang menjadi kendala eksternal karena karakter pembiayaan bagi hasil yang memerlukan tingkat kejujuran yang sangat tinggi dari pihak yang mendapatkan pembiayaan. Untuk mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa usaha yang akan dibiayai dengan sistem bagi hasil menguntungkan dan dalam kondisi bagus serta memiliki prospek yang bagus pula maka bank syariah harus melakukan penelitian yang cermat dan membutuhkan biaya yang tidak kecil. Inilah yang membuat bank syariah belum berani berekspansi dalam pembiayaan bagi hasil (equity financing).
Hal ini sangat ironis mengingat tujuan pendirian bank syariah menurut A. Wirman Syafei adalah
“Dalam rangka mencapai falaah (kemenangan dunia dan akhirat) dan turut menciptakan kehidupan yang lebih baik.”

Lebih lanjut A. Wirman Syafei mengutip pernyataan El-Ashker yang menyatakan bahwa
“Tujuan bank syariah menggambarkan bahwa bank syariah dilarang untuk menghasilkan laba maksimum (profit maximization). Tetapi bank syariah tetap didorong untuk menghasilkan laba tanpa harus melanggar prinsip syariah dan tanpa harus meninggalkan kontribusinya dalam peningkatan kualitas perekonomian umat (masyarakat muslim).”

Karena itu dalam menilai kinerja bank syariah tidak hanya menitikberatkan kepada kemampuan bank syariah dalam menghasilkan laba tetapi juga pada kepatuhan terhadap prinsip – pronsip syariah dan tujuan bank syariah tersebut. Abdus Samad dan M. Khabir Hassan dalam jurnalnya “The Performance of Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory Study”, mereka menilai profitabilitas dengan kriteria ROA (Return On Asset),ROE (Return On Equity) dimana kedua rasio ini menilai efisiensi manajemen, juga menggunakan PER (Profit Expense Ratio) yang menilai efisiensi biaya dimana menilai kemampuan bank menghasilkan profit tinggi dengan beban – beban yang harus ditanggungnya; tingkat likuiditas menggunakan CDR (Cash Deposit Ratio), LDR (Loan to Deposit Ratio),Current Ratio; tingkat solvabilitas dan risiko menggunakan DER (Debt to Equity Ratio), DTAR (Debt to Total Asset Ratio) , mereka juga menilai komitmen bank terhadap perekonomian dan komunitas muslim. Dimana penilaian ini berdasarkan pada seberapa besar bank syariah tersebut melakukan pembiayaan bersifat bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), menggunakan MMR (Mudharaba-Musyarakah Ratio) dimana semakin besar dana digunakan untuk pembiayaan bagi hasil maka menunjukan bahwa bank tersebut memiliki komitmen kuat dalam turut serta membangun kualitas umat muslim.

20.28

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

PENGERTIAN KONSUMEN

Hornby:
 
“ Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa"
“Seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”
“Sesuatu atau Seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang” 
“Setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”

Black’s Law Dictionary:
 
One who consumers, individuals who purchase, use, maintain and dispose of product and services” artinya:  
“seseorang yang mengkonsumsi, individu yang membeli, menggunakan, memelihara dan
  menggunakan/ menghabis dari produk dan jasa”

 Jenis Konsumen
- Konsumen yang menggunakan barang/ jasa untuk keperluan komersial (intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer, consumer of industrial market)
-Konsumen yang menggunakan barang/ jasa untuk keperluan diri sendiri/ keluarga/ non komersial ( Ultimate consumer, Ultimate buyer, end user, final consumer, consumer of the consumer market)
 
Untuk lebih lengkapnya silahkan Download DISINI

20.17

ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN

Salah satu pokok penting dalam fungsi permintaan dan penawaran adalah derajat kepekaan atau elastisitas jumlah barang yang diminta atau yang ditawarkan karena terjadinya perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya.

 Ada 4 konsep elastisitas
1.Elastisitas harga permintaan (Ed)
2.Elastisitas harga penawaran (Es)
3.Elastisitas silang (Ec)
4.Elastisitas pendapatan (Ey)


Untuk lebih lengkapnya silahkan download DISINI

20.08

Fungsi Manajemen Terpadu

Manajemen terpadu merupakan manajemen yang memadukan atau mengkombinasikan faktor produksi secara efisien dan berkesinambunga untuk mamanuhi semua kebutuhannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok. Faktor produksi yang dimaksud antara lain ;
  • Tanah
  • Modal
  • Manusia (skill)
  • Teknologi
  • Informasi dan Komunikasi
  • Dan Waktu
Oleh karena itu, manajemen disamping sebagai suatu seni dan alat atau teknologi seharusnya dapat bergaul akrab dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang modern. Keterpaduan manajemen sebenarnya adalah praktek manajemen yang modern yang didasari pada pengetahuan ilmiah dalam mencapai tujuannya.

  1. Manajemen Koperasi Tradisional
Menurut Wagiono Ismangli, manajemen koperasi tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ;
·         Belum mampu memantau lingkungan dengan baik
·         Kemampuan menilai keadaan sangat lamban dan kurang tepat
·         Melihat perubahan zaman juga sering terlambat
·         Kurang berani mengakui kelemahan
·         Sering ragu dalam mengatasi masalah yang timbul
·         Masih sering main coba-coba
·         Belum menerapkan prinsip manajemen yang professional
Inilah yang menjadi penyebab koperasi tradisional tidak mampu bersaingdengan koperasi modern karena kurang fleksibel dalam usahanya, sehingga sulit untuk berkembang.

B.     Manajemen Koperasi Modern
            Bila koperasi masih ditangani dengan cara koperasi tradisional maka hal ini menyebabkan salah satu hambatan bagi perkembangan koperasi ditijau dari segi manajemen. Maka disinilah fungsi manajemen koperasi modern jika koperasi tersebut ingin berkembang perlu adanya pengelolaan yang professional dan benar dan didukung denga teknologi yang memadai. Memang usaha ini penuh dengan resiko akan tetapi jika resiko inidapat diperkirakan dan diproyeksikan sebelumnya maka akan lebih mudah mengatasi, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang besar.
            Sudah merupkan hal wajar bila ingin meraih keuntungan yang besar maka resikonya juga tinggi. Namun apabila segalanya telah diperhitungkan dengan cermat maka resiko yang muncul akan menjadi kecil atau dapat dihindari, inilah salah satu kelebihan manajemen koperasi modern yang sudah saatnya diterpkan oleh koperasi-koperasi di Indonesia.

C.     Pendekatan Sitem P4
Pendekatan sistem P4 yang dimaksud disini adalah perencanaan, pemrograman, penganggaran, dan pelaporan koperasi melalui pendekatan sistem. Penjelasan dari sitem P4 tersebut adalah ;
·         Perencanaan
     Perencanaan yang dimaksud disini adalah rencana kerja yang disiapkan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diterapkan selama masa bakti kepengurusan.
·         Pemrograman
     Pemrograman kerja yang disiapkan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan selama satu tahun. Dalam arti lain pemrograman merupakan penjabaran dari perencanaan.
·         Penganggaran
     Penganggaran disini ialah berisi anggaran pendapatan dan belanja yang disiapkan untuk menunjang atau menjabarkan program kerja.
·         Pelaporan
     Pelaporan pertanggung jawaban pengurus selama tahun buku kepada rapat anggota. Hal yang perlu dilaporkan adalah kegiatan yang telah direalisasikan dari program kerja, anggaran pendapatan belanja, serta laporan keuangan.

Terpopuler