Arsip Blog
Mitra E. I. Online
Begitu pula halnya dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk memperkuat nilai kurs rupiah, maka di antara strategi yang diambil oleh otoritas moneter adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga. Bahkan, saat berbicara pada Indonesia Global Investment Forum di New York, pertengahan September lalu, Presiden SBY telah menegaskan bahwa tingkat suku bunga akan terus dinaikkan selama hal tersebut mendukung penguatan kurs rupiah. Naiknya suku bunga ini tentu saja akan berdampak pada sektor riil. Sehingga penulis khawatir bahwa upaya untuk mendongkrak peningkatan ekspor --terutama ekspor nonmigas-- akan menjadi sedikit terhambat. Bagaimanapun juga, bunga akan selalu berbanding terbalik dengan investasi di sektor riil. Semakin besar tingkat suku bunga, semakin berkurang pula investasi.
Padahal, saat ini kita perlu untuk meningkatkan investasi pada sektor riil. Hal ini mengingat tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di negara kita, yang telah mencapai 45,2 persen dari total penduduk, dengan tingkat pengangguran yang mencapai angka 50 juta jiwa (Depnakertrans RI). Tentu saja, menurut perkiraan penulis, angka ini akan cenderung bergerak naik, terutama pasca kebijakan menaikkan harga BBM pada 1 Oktober lalu. Semua hal di atas adalah sebagian kecil contoh ''kesemrawutan'' kebijakan ekonomi pemerintah yang berbasiskan pada teori konvensional. Penulis berkeyakinan bahwa sistem ekonomi konvensional telah gagal menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Bunga masalah
Kalau kita bandingkan, perbedaan nyata dan signifikan antara sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi syariah terletak pada sektor moneter. Dari sisi fiskal, perbedaan tersebut tidak terlalu terlihat nyata. Di antara faktor pembeda yang sangat signifikan adalah diharamkannya bunga pada sistem ekonomi syariah. Sementara bagi sistem konvensional, justru bunga itulah yang menjadi instrumen utama untuk menstabilkan perekonomian.
Kalau kita mau jujur, bunga adalah sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan perekonomian. Hal ini dikarenakan bunga adalah institusi yang menjadikan ketidakseimbangan antara sektor riil dan sektor moneter. Mari kita ambil contoh sederhana berikut ini.
Pertama-tama, kita asumsikan seandainya bunga itu halal dalam pandangan Islam. Kemudian kita memiliki uang sebanyak Rp 1 miliar. Kita dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, uang tersebut kita depositokan ke bank dengan bunga 10 persen, atau kedua, uang tersebut kita investasikan untuk membangun pabrik dengan nilai expected return-nya juga 10 persen. Sebagai orang yang rasional, tentu saja pilihan pertama yang akan kita ambil, karena ia lebih menjamin kepastian return yang akan diterima, yaitu sebesar Rp 100 juta. Sementara pada pilihan kedua, terdapat risiko dan ketidakpastian. Belum tentu investasi tersebut menghasilkan return sebesar Rp 100 juta sebagaimana yang diperkirakannya.
Berdasarkan contoh tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa munculnya ketidakseimbangan ini lebih disebabkan struktur teori konvensional yang memang sudah tidak stabil akibat sistem bunga. Akibatnya kemudian, perekonomian pun menjadi labil. Kondisi moneter tidak mencerminkan kondisi sektor riil. Demikian pula sebaliknya, kondisi sektor riil tidak secara otomatis mencerminkan kondisi sektor moneter.
Hal tersebut berbeda dengan sistem ekonomi syariah. Karena tidak ada jaminan kepastian return dalam bentuk bunga, maka sektor moneter memiliki ketergantungan terhadap sektor riil. Jika investasi dan produksi di sektor riil berjalan dengan lancar, maka return pada sektor moneter pun akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa kondisi sektor moneter merupakan cerminan kondisi sektor riil dan vice versa.
Itu adalah contoh kecil saja. Sehingga tidaklah mengherankan, jika saat ini, jumlah uang yang beredar di pasar uang adalah 500 triliun dolar AS, jauh lebih besar daripada jumlah uang yang beredar di pasar barang dan jasa yang hanya 6 triliun dolar AS (World Bank, 2004). Untuk itu, upaya mereformasi sektor finansial negara ini menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan. Harus ada perubahan paradigma yang jelas, dari paradigma konvensional menuju paradigma Islami.
Langkah perbaikan
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan di dalam upaya kita untuk mereformasi sistem keuangan negara ini. Pertama, memperkuat sistem perbankan syariah nasional. Upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan segera mengimplementasikan undang-undang (UU) yang mengatur tentang perbankan syariah. Tentu saja semakin cepat semakin baik. Paling tidak, akhir tahun ini atau awal tahun depan, UU tentang Perbankan Syariah sudah dapat diberlakukan.
Kemudian, Bank Indonesia perlu melakukan akselerasi dengan segera membentuk deputi gubernur yang khusus mengurusi bank syariah. Logika bahwa deputi gubernur ini nantinya akan secara otomatis dibentuk manakala industri perbankan syariah nasional telah semakin besar, harus diubah. Kita tidak perlu menunggu aset perbankan syariah mencapai 50 persen dari total aset perbankan nasional untuk membentuk deputi khusus ini. Mari kita belajar pada Malaysia yang mempersiapkan terlebih dahulu perangkat peraturannya dan baru kemudian mereka membentuk institusinya.
Penulis melihat bahwa di negara kita, peraturan selalu muncul belakangan dan terlambat. Seharusnya treatment terhadap bank syariah dilakukan secara khusus. Pembentukan deputi ini merupakan salah satu jawabannya. Kedua, membangun sistem pasar modal syariah yang kuat. Harus diingat bahwa pasar modal ini rentan dengan aktivitas spekulasi (meskipun banyak ekonom konvensional yang tidak mau mengakuinya sebagai spekulasi, melainkan investasi yang mengandung risiko). Untuk itu, harus ada aturan yang mendekatkan pasar modal dengan sektor riil.
Permasalahan utama sebenarnya terletak pada secondary market. Jual beli saham dan surat-surat berharga lainnya yang terjadi di pasar sekunder tidak memiliki dampak pada perusahaan yang menerbitkan sahamnya di lantai bursa. Perubahan harga hanya ditentukan oleh kekuatan pasar, di mana tidak ada perubahan yang berarti dari nilai intrinsik saham. Sehingga harga yang berlaku, bisa berada di atas ataupun di bawah nilai riilnya.
Untuk itu, perlu ada aturan main tambahan yang menjamin agar nilai saham dapat sesuai dengan kondisi aktual perusahaan. Tujuannya agar terdapat aliran dana dari pasar modal kepada sektor riil. Penulis menyadari bahwa hal tersebut membutuhkan diskursus yang panjang. Membuat spekulasi menjadi aktivitas yang tidak menarik merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
Ketiga, membangun sistem lembaga keuangan syariah (LKS) non-bank yang kuat. Hal ini juga sangat penting. Tentu saja dibutuhkan peran pemerintah (dalam hal ini Departemen Keuangan). Sudah saatnya Depkeu mendorong tumbuh dan berkembangnya LKS non-bank. Penulis melihat belum maksimalnya upaya yang dilakukan Depkeu. Sebagai contoh kecil, hingga saat ini belum ada satu pun direktorat yang khusus menangani asuransi syariah. Padahal, industri asuransi syariah saat ini tengah berkembang pesat. Wajarlah jika hal tersebut menuai kritik.
Bahkan salah satu rekomendasi agenda kerja Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dalam muktamarnya beberapa waktu lalu, adalah mendorong terbentuknya direktorat dimaksud. Keempat, adalah dengan terus menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, sekaligus memperkuat kerja sama dengan seluruh elemen yang ada, baik kalangan praktisi, akademisi, cendekiawan, ulama, pejabat, dan seluruh masyarakat. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Label: ekonomi, ekonomi islam, islamic bank, moneter
Latar Belakang
konsep keuangan berbasis syariah islam (Islamic Finance) dewasa ini telah tumbuh secara pesat, diterima secara universal dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah saja melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia, Eropa dan Amerika. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkannya berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu, juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam dan standar instrumen keuangan Islam, serta didirikannya lembaga rating Islam. Beberapa prinsip pokok dalam transaksi keuangan sesuai syariah antara lain berupa penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran atas sistem bagi hasil atau profit sharing, serta larangan terhadap riba, gharar, dan maysir.
Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah sukuk. Di beberapa negara, sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan anggaran negara yang penting. Pada saat ini, beberapa negara telah menjadi regular issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, BAhrain, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, dan State sof Saxony Anhalt – Jerman. Penerbitan sovereign sukuk biasanya ditujukan untuk keperluanpembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu, misalnya pembangunan bendungan, unit pembngkit listrik, pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain itu, sukuk juga dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismacth, yaitu dengan menggunakan sukuk dengan jangka waktu pendek (Islamic Tresury Bills) dan juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang.
Total emisi sukuk internasional berkembang pesat dari semula pada tahun 2002 hanya sekitar USD 1 miliar, menjadi USD 17 miliar padabulan April 2007. jumlah dan jenis instrumen sukuk juga terus berkembang, daris semula hanya dikenal sukuk al ijarah berkembang menjadi 14bjenis sukuk sebagaimana ditetapkan oleh The Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions (AAOIFI). adapun investor sukuk, tidak lagi hanya ternbatas pada investor islami, karena pada saat ini sebagain besar investor sukuk justru merupakan investor konvensional.
Dalam negeri sendiri, pasar keuangan syriah, termasuk pasar sukuk juga tumbuh secara cepat, meskipun proporsinya dibandingkan konvensional masih relatif kecil. untuk keperluan pengembangan basis sumber pembiayaan anggaran negara dan dalam rangka pengembangan pasar keuangan syariah dalam negeri, pemerintah telah menyusun RUU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). UU SBSN tersebut akan menjadi legal basis bagi penerbitan dan pengelolaan sukuk negara atau SBSN.Pengertian Sukuk
Ø Sukuk berasal dari bahasa arab yaitu sak (tunggal) dan sukuk (jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan.
Ø Definisi sukuk / sertifikat ialah sertifikat bernilai sama dengan bagian atau seluruhnya dari kepemilikan harta berwujud untuk mendapatkan hasil dan jasa didalam kepemilikan aset dan proyek tertentu atau aktivitas investasi khusus, sertifikat ini berlaku setelah menerima niali sukuk, saat jatuh tempo dengan menerima dana sepenuhnya sesuai dengan tujuan sukuk tersebut.
Ø Menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), sukuk adalah sebagai setifikat dari suatu nilai yang dipresentasikan setelah menutup pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat, dan menggunakannya sesuai rencana. sama halnya dengan bagian dan kepemilikan atas aset yang jelas, barang, atau jasa atau modal dari suatu proyek tertentu atau modal dari suatu aktivitas investasi tertentu. Sukuk pada prinsipnya mirip dengan obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip bagi syariah. selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Ø Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 31/DSN-MUI/IX/2002 sukuk adalah suatu surat berharga jangkan panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Ø Sedangkan menurut Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. KEP-130/BL/2006 tahun 2006 Peraturan No. IX .A. 13, sukuk hádala efek syariah berupa sertufikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas kepemilikan aset berwujud tertentu nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, dan kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
Undang-Undang Sukuk
Pada Mei 2008 lalu, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU Sukuk Negara (sovereign sukuk).
Karakteristik Sukuk
· Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (benefical title).
· Pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan.
· Terbebas dari riba, gharar, dan maysir.
· Penerbitannya melalui special purpose vechicle (SPV)
· Memerlukan underlying asset.
· Penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah.
Tujuan Penerbitan Sukuk Negara (SBSN)
· Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara.
· Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah
· Mengembangkan alternatif instrumen investasi
· Memenfaatkan dana masyarakat yang belum terjaring oleh konvensional.
· Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah.
· Diversifikasi basis investor.
· Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara
Jenis-Jenis Sukuk
Berbagai jenis sruktur sukuk yan dikenal secara internasional dan telah mendapatkan Endorsement dari The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) antara lain;
· Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaatatas suatu asset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemndahan kepemilikan asset itu sendiri. sukuk ijarah dibedakan menjadi Ijrah Muntahiya Bittamlik (Sale And Lease Back) Dan Ijarah Headlease And Sublease.
· Sukuk Mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkanperjanjian atau akad mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rob al mal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. kerugian yang timbul akan ditanggung oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
· Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partispasi modal masing-masing pihak.
· Istishna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ di mana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan
Perbandingan Sukuk dan Obligasi
Deskripsi Sukuk Obligasi
Penerbit Pemerintah, korporasi Pemerintah, korporasi
Sifat instrument Sertifikat kepemilikan/penyertaan atas suatu aset Instumen pengakuan utang
Penghasilan Imbalan, bagi hasil, margin Bunga/kupon, capital gain
Jangka waktu Pendek – menengah Menegah – panjang
Underlying asset Perlu Tidak perlu
Pihak yang terkait Obligor, SPV, investor, Trustee Obligor/issuer, investor
Price Market price Market price
Investor Islam, konvensional Konvensional
Pembayaran pokok Bullet atau amortisasi Bullet atau amortisasi
Penggunaan hasil penerbitan Harus sesuai syariah Bebas
Negara-negara yang telah menerbitkan sukuk :
· Eropa (Jerman, Inggris dan Kanada).
· Timur Tengah (Dubai, Uni Emirat Arab, Kuwait, Pakistan dan Qatar).
· Asia Tenggara (Malaysia dan Singapura).
Negara-negara yang akan menerbitkan sukuk :
· Asia (Jepang, Korea, Cina, India dan Indonesia)
Kelebihan berinvestasi dalam sukuk negara, khususnya untuk struktur ijarah
· Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif dibandingkan dengan instrumen keuangan lalin.
· Pembayaran imbalan dan nilai nominal sampai dengan sukuk jatuh tempo dijamin oleh pemerintah.
· Dapat diperjual-belikan di pasar sekunder.
· Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital gain)
· Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir (gambling).
· Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan syariah.
Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Penerbitan Sukuk
· Obligor, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan jatuh tempo. dalam hal sovereign sukuk, obligornya adalah pemerintah.
· Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk dengan fungsi: (i) sebagai penerbit sukuk,(ii) menjadi counterpart pemerintah dalam transaksi pengalihan aset, (iii) bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan investor.
· Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.
Penggunaan Underlying Asset
Penerbitan sukuk memerlukan sejumlah tertentu aset yang akan menjadi objek perjanjian (underlying asset). aset yang menjadi objek perjanjian harus memiliki nilai ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud, termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. fungsi underlying asset tersebut adalah:
· Menghindari riba
· Sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkannya sukuk di pasar sekunder.
· Untuk menentukan jenis struktur sukuk.
·
Dalam sukuk Ijarah Muntahiya Bittamlik atau Ijarah Sale And Lease Back, penjualan aset tidak disertai penyertaan fisik aset tetapi yang dialihkan adalah hak manfaat (benefit title) sedangkan kepemilikan aset (legal title) tetap pada obligor. pada akhir periode sukuk, SPV wajib menjual kembali aset tersebut kepada obligor.
Contoh Mekanisme Penerbitan Sukuk Ijarah Muntahiya Bittamlik (Ijarah Sale and Lease Back)
Penerbitan Sukuk
Pemerintah
(Obligor)
Purchase & Sale
Undertaking (3) Penyewaan
kembali aset
(1) Penjualan aset
aset Rp
SPV
(Penerbit)
(2) Penerbitan sukuk
sukuk Rp
Pemegang Sukuk
(Investor)
1. SPV dan Obligor melakukan transaksi jual-beli aset, disertai dengan purchase sale & sale undertaking di mana pemerintah menjamin untuk membeli kembaliaset dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada pemerintah, pada saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi defalut.
2. SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian aset.
3. pemerintah menewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa (ijarah agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang diterbitkan.
4. berdasarkan servicing agency agreement, pemerintah ditunjuk sebagai agen yang bertanggungjawab atas perawatan aset.
Pembayaran Imbalan
SPV
Pemerintah
(Obligor)
Pemegang Sukuk
1. Obligor membayar sewa (imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa, imbalan dapat bersifat tetap (fixed rate) maupun mengambang (floating rate)
2. SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan kepada para investor.
Saat Jatuh Tempo
Pemegang Sukuk
SPV
Pemerintah
(Obligor)
Rp Rp
aset sukuk
1. penjualan kembali aset oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal sukuk, pada saat sukuk jatuh tempo.
2. hasil penjualan aset, digunakan SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.
Pengertian Sukuk Ritel
Surat Berharga Syariah Negara Ritel (Sukuk Ritel) merupakan surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat Berharga Syariah Negara, yang dijual kepada individu (ritel) atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual, dengan volume minimum yang ditentukan
Tujuan Penerbitan Sukuk Ritel
Penerbitan sukuk ritel ini memiliki tujuan yang smaa dengan obligasi yang diterbitkan Pemerintah lainnya (SUN, ORI, SBSN) yaitu untuk membiayai anggaran negara, divesifikasi sumber pembiayaan, memperluas basis investor, mengelola pembiayaan negara dan menjamin tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara.
Manfaat Memiliki Sukuk Ritel
· Investasi yang aman (pemerintah sebagai penjamin).
· Memberikan return yang relatif tinggi (12% gross => 9.6% nett) dibandingkan produk konservatif lain seperti reksadana pasar uang atau deposito.
· Mendapatkan pembayaran imbalan yang dilakukan secara berkala (perbulan).
· Berpotensi memperoleh Capital Gain, ketika harga sedang naik di pasar sekunder.
Persamaan dan Perbedaan Sukuk Ritel dan ORI
Persamaan Perbedaan
· sukuk ritel dan ORI merupakan surat berharga negara yang diperuntukkan bagi investor ritel.
· sukuk ritel dan ORI merupakan bukti investasi masyarakat kepada pemerintah. Baik sukuk ritel maupun ORI pembayaran bunga/imbalan dan pelunasan/pembelian kembali dijamin oleh pemerintah. · ORI adalah pinjaman modal dari masyarakat kepada pemerintah, sedangkan sukuk ritel adalah bentuk penyertaan modal masyarakat atas bagian dari aset sukuk ritel yang dijadikan obyek transaksi.
· ORI memberikan penghasilan (return) kepada investor berupa bunga. sedangkan sukuk ritel memberikan penghasilan (return) kepada investor berupa imbalan sewa, sesuai dengan akad yang digunakan.
Resiko Memiliki Sukuk Ritel
· Resiko Gagal Bayar (Defailt Risk), adalah resiko dimana investor tidak dapat memperoleh pembayaran dana yang dijanjikan oleh penerbit pada saat produk investasi jatuh tempo. berhubung yang menerbitkan pemerintah, resiko ini sangatlah kecil (diasumsikan risk free).
· Resiko Pasar (Market Risk), adalah potensi kerugian bagi nvestor (capital loss) karena menjual sukuk ritel sebelum jatuh tempo (pada saat nilainya turun).
· Resiko Likuiditas (Liquidity Risk), adalah kesulitan dalam pencairan, resiko ini bisa disebabkan karena kecenderungan produk syariah di-hold (tidak diperjual belikan hingga jatuh tempo), tetapi untuk sukuk ritel para agen penjual telah menjamin untuk membeli kembali barang yang dijual oleh investor. resiko yang bisa terjadi adalah investor terpaksa menjual kepada agen penjual dengan harga di bawah harga pasar. apabila pembelian dalam jumlah tidak besar, bunganya yang relatif kecil dan ditransfer ke bank bisa menjadi tidak signifikan dan bisa terpakai.
Cara Menghitung Imbalan Sukuk Ritel
1. Skenario 1 (Harga Par)
Investor A membeli Sukuk Ritel di Pasar Perdana sebesar Rp 10,000,000.00 dengan kupon 12% dan tidak dijual sampai jatuh tempo, maka hasil yang diperoleh adalah :
Imbalan = 12% x Rp 10,000,000.00 x 1/12
= Rp 100,000.00 setiap bulan sampai
dengan jatuh tempo
Nilai Nominal saat jatuh tempo = Rp 10,000,000.00
Total yang diperoleh saat jatuh tempo = Imbalan + Nilai Nominal
= Rp 10,100,000.00
2. Skenario 2 (Harga Premium atau harga sedang naik)
Investor B membeli Sukuk Ritel di Pasar Perdana sebesar Rp 10,000,000.00 dengan kupon 12% dan dijual ke Pasar Sekunder dengan harga 105%, maka hasil yang diperoleh adalah :
Imbalan = 12% x Rp 10,000,000.00 x 1/12
= Rp 100,000.00 setiap bulan sampai
dengan dijual.
Capital Gain saat dijual = Rp 10,000,000.00 x (105-100)%
= Rp 500,000.00
Nilai Nominal saat dijual = Nilai Nominal + Capital Gain
= Rp 10,000,000.00 + Rp 500,000
= Rp 10,500,000.00
Total yang diperoleh saat dijual = Imbalan + Nilai Nominal pada saat
dijual.
= Rp 10,600,000.00
3. Skenario 3 (Harga Discount atau harga sedang turun)
Investor C membeli Sukuk Ritel di Pasar Perdana sebesar Rp 10,000,000.00 dengan kupon 12% dan dijual ke Pasar Sekunder dengan harga 95%, maka hasil yang diperoleh adalah :
Imbalan = 12% x Rp 10,000,000.00 x 1/12
= Rp 100,000.00 setiap bulan
sampai dengan dijual
Capital Loss saat dijual = Rp 10,000,000.00 x (95-100)%
= – Rp 500,000.00
Nilai Nominal saat dijual = Nilai Nominal + Capital Loss
= Rp 10,000,000.00 – Rp 500,000
= Rp 9,500,000.00
Total yang diperoleh saat dijual = Imbalan + Nilai Nominal pada
saat dijual
= Rp 9,600,000.00
Catatan :
Ilustrasi diatas belum memperhitungkan biaya-biaya transaksi dan pajak.
Transaksi penjualan di pasar sekunder dengan asumís penjualan terjadi pada saat pembayaran imbalan, sehingga tidak memperhitungkan accured yang ada.
Prospek Sukuk di Indonesia
Pasar keuangan di Indonesia baru saja mencatat sejarah baru. Meski terlambat, Pada Mei 2008 lalu, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU Sukuk Negara (sovereign sukuk). kita patut memberikan apresiasi tinggi atas upaya pemerintah dan DPR yang berhasil menghasilkan UU Sukuk Negara ini. Dikatakan terlambat, karena perkembangan sukuk di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai oleh swasta, meskipun pangsanya masih kecil.
Pada tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan sukuk hingga Rp18 triliun. Bila dibandingkan dengan obligasi negara konvensional, rencana penerbitan sukuk ini memang masih kecil. Namun, dimulainya penerbitan sukuk ini oleh pemerintah ini akan dapat menjadi trigger bagi penerbitan sukuk lainnya. Dengan diberlakukannya UU Sukuk Negara dan adanya rencana penerbitan sukuk oleh pemerintah, itu berarti sukuk kini menjadi instrumen pembiayaan yang diakui sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap sukuk kita, baik sukuk negara maupun sukuk korporasi.
Fakta menunjukkan perkembangan sukuk memang dimulai dengan adanya soverign sukuk. Berdasarkan data dari Standard & Poor’s (S&P), bila pada tahun 2003, sovereign sukuk masih mendominasi pasar sukuk global yaitu sebesar 42% dan sukuk yang diterbitkan oleh lembaga keuangan sebesar 58%, maka sejak saat itu komposisinya mengalami pergeseran. Pada tahun 2007, kini justru sukuk korporasi yang mendominasi pasar sukuk global, yaitu sekitar 71%, lembaga keuangan 26%, dan pemerintah tinggal 3%.
Perkembangan Sukuk
Sukuk kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sistem keuangan global. Pada tahun 2007, nilai sukuk yang diperdagangkan di pasar global telah meningkat lebih dari dua kali dibandingkan tahun 2006, dan mencapai US$62 miliar dibandingkan tahun 2006 sebesar US$27 miliar. Dari tahun 2001 hingga tahun 2006, Sukuk mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 123%. Berdasarkan proyeksi S&P, dalam lima tahun ke depan, pasar sukuk dapat menembus level US$100 miliar, tergantung pada kondisi stabilitas pasar kredit. Sementara itu, Moody’s memperkirakan bahwa pasar sukuk akan meningkat sebesar 35% per tahun. Pada tahun 2010, pasar sukuk global diperkirakan dapat menembus hingga US$200 miliar, terutama ditopang oleh negara-negara di kawasan Teluk, Inggris, Jepang, dan Thailand.
Pengembangan sukuk sangat didukung regulator dan pemerintah di kawasan Teluk dan Asia. Kini, semakin banyak negara yang telah menerbitkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan. Pada tahun 2007, telah ada 10 negara yang menerbitkan sukuk, padahal pada tahun 2001 baru ada 2 negara. Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia masih mempertahankan sebagai negara penerbit sukuk terbesar di dunia. Pada tahun 2007, lebih dari US$25 miliar sukuk (atau sekitar 75% dari seluruh sukuk yang diterbitkan di seluruh dunia pada tahun itu) adalah sukuk yang diterbitkan oleh UEA dan Malaysia. Sementara itu, Malaysia sendiri menguasai sekitar 66% dari seluruh penerbitan sukuk di dunia.
S&P memperkirakan Malaysia dan UEA akan tetap memegang posisinya sebagai penguasa pasar, karena ditopang oleh regulator dan status UEA sebagai pintu masuk (gateway) para investor global. Selain dukungan yang kuat dari pemerintah setempat, perkembangan pesat tersebut juga tidak terlepas dari kinerja sukuk itu sendiri. Berdasarkan data dari Dowjones terlihat bahwa di seluruh dunia indeks surat berharga yang berbasis syariah (saham dan sukuk), kinerjanya lebih baik dibandingkan indeks konvensional. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, sebagai negara terbesar dalam hal pangsa pasar penerbitan sukuk di dunia.
Potensi Bagi Indonesia
Sebagaimana disebut di atas, perkembangan sukuk di Indonesia sesungguhnya bermula karena adanya inisiatif dari swasta. Dukungan yang kurang dari pemerintah dan regulator terhadap perkembangan sukuk ini, menyebabkan posisi Indonesia dalam pasar keuangan syariah global tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Hingga saat ini, baru terdapat sekitar 20 sukuk yang diakui sebagai emiten syariah oleh Bapepam.
Dengan diberlakukannya UU Sukuk Negara, diperkirakan perkembangan pasar sukuk di Indonesia bakal lebih semarak dibandingkan sebelumnya. Terlebih lagi, minat investor terhadap sukuk ini sangat besar, sebagaimana ditunjukan dari perkembangan sukuk global saat ini. Tahun ini pemerintah memang memfokuskan diri untuk pengembangan pasar sukuk domestik. Jika penerbitan perdana ini sukses, diperkirakan akan semakin menarik investor asing, khususnya dari Timur Tengah, untuk masuk ke pasar keuangan syariah di Indonesia.
Namun demikian, pasar sukuk di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, pasar keuangan syariah di Indonesia tidak terlalu likuid. Penyebabnya, pangsa pasarnya yang relatif kecil, yaitu kurang dari 5% dari seluruh sistem keuangan di Indonesia. Kecilnya pangsa pasar keuangan syariah ini diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan pasar sukuk domestik akan tetap terbatas. Oleh karenanya, bila langkah perdana pemerintah menerbitkan sukuk domestik berhasil, selanjutnya perlu dibuka pasar sukuk global sebagai benchmark bagi penerbitan sukuk global lainnya, baik sovereign sukuk maupun corporate sukuk.
Selain itu, regulasi yang masih dirasakan menghambat perkembangan pasar sukuk domestik juga perlu dibenahi, sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/12 tahun 2004. Dalam PBI tersebut, bank yang memiliki sukuk agar memegangnya hingga jatuh tempo. Meski aturan ini penting untuk menjaga aspek kesyariahan bank syariah, namun PBI ini perlu direvisi agar tidak menghambat likuiditas pasar sukuk.
Kedua, belum adanya kepastian masalah perpajakan terkait dengan transaksi yang melibatkan investor sukuk. Permasalahan perpajakan ini tidak hanya terkait dengan sukuk, namun menyangkut transaksi keuangan syariah secara keseluruhan. Isu yang paling mengemuka adalah adanya double taxation dalam transaksi keuangan syariah.
Ketiga, kebanyakan produk keuangan syariah bersifat “debt-based” atau “debt-likely”. Padahal, idealnya keuangan syariah adalah “profit-loss sharing”. Ini terlihat dari komposisi tingkat kupon sukuk yang dibayarkan masih mendasarkan pada tingkat suku bunga tertentu. Sehingga, tidak mengherankan jika AAOIFI memberikan penilaian bahwa sekitar 85% sukuk belum sesuai dengan syariah. Oleh karena itu, bagi Indonesia perlu pengembangan inovasi dan struktur sukuk yang lebih beragam.***
Label: bank, bi, ekonomi, ekonomi islam, Ekonomi Syariah, permodalan
Label: bahan kuliah, ekonomi, ekonomi islam, kuliah, manajemen, syariah
Terpopuler
-
Manajemen terpadu merupakan manajemen yang memadukan atau mengkombinasikan faktor produksi secara efisien dan berkesinambunga untuk mamanu...
-
AHMADIONO [1] Pendahuluan Kebangkitan Islam pada awal abad kedua puluh, diidentifikasi sebagai upaya memandang modernisasi yang berkembang ...
-
Berbicara tentang sumber daya manusia tentu tidak lepas dari manusia-nya itu sendiri beserta dengan atribut-atribut uniknya mulai dari as...
-
ANALISA BREAK EVENT POINT Analisa Break Event adalah suatu teknik analisa untuk mempelajari hubungan antara Biaya Tetap, Biaya Variabel, ...
-
Latar Belakang konsep keuangan berbasis syariah islam ( Islamic Finance ) dewasa ini telah tumbuh secara pesat, diterima secara universal ...