20.42

Prospek SUKUK Ritel Di Indonesia

Latar Belakang
konsep keuangan berbasis syariah islam (Islamic Finance) dewasa ini telah tumbuh secara pesat, diterima secara universal dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah saja melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia, Eropa dan Amerika. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkannya berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu, juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam dan standar instrumen keuangan Islam, serta didirikannya lembaga rating Islam. Beberapa prinsip pokok dalam transaksi keuangan sesuai syariah antara lain berupa penekanan pada perjanjian yang adil, anjuran atas sistem bagi hasil atau profit sharing, serta larangan terhadap riba, gharar, dan maysir.
Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah sukuk. Di beberapa negara, sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan anggaran negara yang penting. Pada saat ini, beberapa negara telah menjadi regular issuer dari sukuk, misalnya Malaysia, BAhrain, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, Qatar, Pakistan, dan State sof Saxony Anhalt – Jerman. Penerbitan sovereign sukuk biasanya ditujukan untuk keperluanpembiayaan negara secara umum (general funding) atau untuk pembiayaan proyek-proyek tertentu, misalnya pembangunan bendungan, unit pembngkit listrik, pelabuhan, bandar udara, rumah sakit, dan jalan tol. Selain  itu, sukuk juga dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan cash-mismacth, yaitu dengan menggunakan sukuk dengan jangka waktu pendek (Islamic Tresury Bills) dan juga dapat digunakan sebagai instrumen pasar uang.
Total emisi sukuk internasional berkembang pesat dari semula pada tahun 2002 hanya sekitar USD 1 miliar, menjadi USD 17 miliar padabulan April 2007. jumlah dan jenis instrumen sukuk juga terus berkembang, daris semula hanya dikenal sukuk al ijarah berkembang menjadi 14bjenis sukuk sebagaimana ditetapkan oleh The Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions (AAOIFI). adapun investor sukuk, tidak lagi hanya ternbatas pada investor islami, karena pada saat ini sebagain besar investor sukuk justru merupakan investor konvensional.
Dalam negeri sendiri, pasar keuangan syriah, termasuk pasar sukuk juga tumbuh secara cepat, meskipun proporsinya dibandingkan konvensional masih relatif kecil. untuk keperluan pengembangan basis sumber pembiayaan anggaran negara dan dalam rangka pengembangan pasar keuangan syariah dalam negeri, pemerintah telah menyusun RUU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). UU SBSN tersebut akan menjadi legal basis bagi penerbitan dan pengelolaan sukuk negara atau SBSN.Pengertian Sukuk

Ø Sukuk berasal dari bahasa arab yaitu sak (tunggal) dan sukuk (jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. dalam pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim) kepemilikan.
Ø Definisi sukuk / sertifikat ialah sertifikat bernilai sama dengan bagian atau seluruhnya dari kepemilikan harta berwujud untuk mendapatkan hasil dan jasa didalam kepemilikan aset dan proyek tertentu atau aktivitas investasi khusus, sertifikat ini berlaku setelah menerima niali sukuk, saat jatuh tempo dengan menerima dana sepenuhnya sesuai dengan tujuan sukuk tersebut.
Ø Menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), sukuk adalah sebagai setifikat dari suatu nilai yang dipresentasikan setelah menutup pendaftaran, bukti terima nilai sertifikat, dan menggunakannya sesuai rencana. sama halnya dengan bagian dan kepemilikan atas aset yang jelas, barang, atau jasa atau modal dari suatu proyek tertentu atau modal dari suatu aktivitas investasi tertentu. Sukuk pada prinsipnya mirip dengan obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip bagi syariah. selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
Ø Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 31/DSN-MUI/IX/2002 sukuk adalah suatu surat berharga jangkan panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Ø Sedangkan menurut Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan No. KEP-130/BL/2006 tahun 2006 Peraturan No. IX .A. 13, sukuk hádala efek syariah berupa sertufikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas kepemilikan aset berwujud tertentu nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, dan kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.

Undang-Undang Sukuk
Pada Mei 2008 lalu, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU Sukuk Negara (sovereign sukuk).
Karakteristik Sukuk
· Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (benefical title).
· Pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan.
· Terbebas dari riba, gharar, dan maysir.
· Penerbitannya melalui special purpose vechicle (SPV)
· Memerlukan underlying asset.
· Penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah.

Tujuan Penerbitan Sukuk Negara (SBSN)
· Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara.
· Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah
· Mengembangkan alternatif instrumen investasi
· Memenfaatkan dana masyarakat yang belum terjaring oleh konvensional.
· Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah.
· Diversifikasi basis investor.
· Mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara

Jenis-Jenis Sukuk
Berbagai jenis sruktur sukuk yan dikenal secara internasional dan telah mendapatkan Endorsement dari The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) antara lain;
· Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaatatas suatu asset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemndahan kepemilikan asset itu sendiri. sukuk ijarah dibedakan menjadi Ijrah Muntahiya Bittamlik (Sale And Lease Back) Dan Ijarah Headlease And Sublease.
· Sukuk Mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkanperjanjian atau akad mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rob al mal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. kerugian yang timbul akan ditanggung oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
· Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partispasi modal masing-masing pihak.
· Istishna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ di mana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan

Perbandingan Sukuk dan Obligasi
Deskripsi Sukuk Obligasi
Penerbit Pemerintah, korporasi Pemerintah, korporasi
Sifat instrument Sertifikat kepemilikan/penyertaan atas suatu aset Instumen pengakuan utang
Penghasilan Imbalan, bagi hasil, margin Bunga/kupon, capital gain
Jangka waktu Pendek – menengah Menegah – panjang
Underlying asset Perlu Tidak perlu
Pihak yang terkait Obligor, SPV, investor, Trustee Obligor/issuer, investor
Price Market price Market price
Investor Islam, konvensional Konvensional
Pembayaran pokok Bullet atau amortisasi Bullet atau amortisasi
Penggunaan hasil penerbitan Harus sesuai syariah Bebas

Negara-negara yang telah menerbitkan sukuk :
· Eropa (Jerman, Inggris dan Kanada).
· Timur Tengah (Dubai, Uni Emirat Arab, Kuwait, Pakistan dan Qatar).
· Asia Tenggara (Malaysia dan Singapura).

Negara-negara yang akan menerbitkan sukuk :
· Asia (Jepang, Korea, Cina, India dan Indonesia)

Kelebihan berinvestasi dalam sukuk negara, khususnya untuk struktur ijarah
· Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang kompetitif dibandingkan dengan instrumen keuangan lalin.
· Pembayaran imbalan dan nilai nominal sampai dengan sukuk jatuh tempo dijamin oleh pemerintah.
· Dapat diperjual-belikan di pasar sekunder.
· Memungkinkan diperolehnya tambahan penghasilan berupa margin (capital gain)
· Aman dan terbebas dari riba (usury), gharar (uncertainty), dan maysir (gambling).
· Berinvestasi sambil mengikuti dan melaksanakan syariah.

Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Penerbitan Sukuk
· Obligor, adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan jatuh tempo. dalam hal sovereign sukuk, obligornya adalah pemerintah.
· Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan khusus untuk penerbitan sukuk dengan fungsi: (i) sebagai penerbit sukuk,(ii) menjadi counterpart pemerintah dalam transaksi pengalihan aset, (iii) bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan investor.
· Investor, adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, margin, dan nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.

Penggunaan Underlying Asset
Penerbitan sukuk memerlukan sejumlah tertentu aset yang akan menjadi objek perjanjian (underlying asset). aset yang menjadi objek perjanjian harus memiliki nilai ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud, termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. fungsi underlying asset tersebut adalah:
· Menghindari riba
· Sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkannya sukuk di pasar sekunder.
· Untuk menentukan jenis struktur sukuk.
·
Dalam sukuk Ijarah Muntahiya Bittamlik atau Ijarah Sale And Lease Back, penjualan aset tidak disertai penyertaan fisik aset tetapi yang dialihkan adalah hak manfaat (benefit title) sedangkan kepemilikan aset (legal title) tetap pada obligor. pada akhir periode sukuk, SPV wajib menjual kembali aset tersebut kepada obligor.

Contoh Mekanisme Penerbitan Sukuk Ijarah Muntahiya Bittamlik (Ijarah Sale and Lease Back)
Penerbitan Sukuk
Pemerintah
(Obligor)

Purchase & Sale
Undertaking (3) Penyewaan
kembali aset
(1) Penjualan aset
aset Rp
SPV
(Penerbit)

(2) Penerbitan sukuk
sukuk Rp
Pemegang Sukuk
(Investor)

1. SPV dan Obligor melakukan transaksi jual-beli aset, disertai dengan purchase sale & sale undertaking di mana pemerintah menjamin untuk membeli kembaliaset dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada pemerintah, pada saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi defalut.
2. SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian aset.
3. pemerintah menewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa (ijarah agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang diterbitkan.
4. berdasarkan servicing agency agreement, pemerintah ditunjuk sebagai agen yang bertanggungjawab atas perawatan aset.

Pembayaran Imbalan
SPV
Pemerintah
(Obligor)
Pemegang Sukuk

1. Obligor membayar sewa (imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa, imbalan dapat bersifat tetap (fixed rate) maupun mengambang (floating rate)
2. SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan kepada para investor.

Saat Jatuh Tempo
Pemegang Sukuk
SPV
Pemerintah
(Obligor)
Rp Rp

aset sukuk
1. penjualan kembali aset oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal sukuk, pada saat sukuk jatuh tempo.
2. hasil penjualan aset, digunakan SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.

Pengertian Sukuk Ritel
Surat Berharga Syariah Negara Ritel (Sukuk Ritel) merupakan surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat Berharga Syariah Negara, yang dijual kepada individu (ritel) atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual, dengan volume minimum yang ditentukan
Tujuan Penerbitan Sukuk Ritel
Penerbitan sukuk ritel ini memiliki tujuan yang smaa dengan obligasi yang diterbitkan Pemerintah lainnya (SUN, ORI, SBSN) yaitu untuk membiayai anggaran negara, divesifikasi sumber pembiayaan, memperluas basis investor, mengelola pembiayaan negara dan menjamin tertib administrasi pengelolaan Barang Milik Negara.
Manfaat Memiliki Sukuk Ritel
· Investasi yang aman (pemerintah sebagai penjamin).
· Memberikan return yang relatif tinggi (12% gross => 9.6% nett) dibandingkan produk konservatif lain seperti reksadana pasar uang atau deposito.
· Mendapatkan pembayaran imbalan yang dilakukan secara berkala (perbulan).
· Berpotensi memperoleh Capital Gain, ketika harga sedang naik di pasar sekunder.

Persamaan dan Perbedaan Sukuk Ritel dan ORI
Persamaan Perbedaan
· sukuk ritel dan ORI merupakan surat berharga negara yang diperuntukkan bagi investor ritel.
· sukuk ritel dan ORI merupakan bukti investasi masyarakat kepada pemerintah. Baik sukuk ritel maupun ORI pembayaran bunga/imbalan dan pelunasan/pembelian kembali dijamin oleh pemerintah. · ORI adalah pinjaman modal dari masyarakat kepada pemerintah, sedangkan sukuk ritel adalah bentuk penyertaan modal masyarakat atas bagian dari aset sukuk ritel yang dijadikan obyek transaksi.
· ORI memberikan penghasilan (return) kepada investor berupa bunga. sedangkan sukuk ritel memberikan penghasilan (return) kepada investor berupa imbalan sewa, sesuai dengan akad yang digunakan.

Resiko Memiliki Sukuk Ritel
· Resiko Gagal Bayar (Defailt Risk), adalah resiko dimana investor tidak dapat memperoleh pembayaran dana yang dijanjikan oleh penerbit pada saat produk investasi jatuh tempo. berhubung yang menerbitkan pemerintah, resiko ini sangatlah kecil (diasumsikan risk free).
· Resiko Pasar (Market Risk), adalah potensi kerugian bagi nvestor (capital loss) karena menjual sukuk ritel sebelum jatuh tempo (pada saat nilainya turun).
· Resiko Likuiditas (Liquidity Risk), adalah kesulitan dalam pencairan, resiko ini bisa disebabkan karena kecenderungan produk syariah di-hold (tidak diperjual belikan hingga jatuh tempo), tetapi untuk sukuk ritel para agen penjual telah menjamin untuk membeli kembali barang yang dijual oleh investor. resiko yang bisa terjadi adalah investor terpaksa menjual kepada agen penjual dengan harga di bawah harga pasar. apabila pembelian dalam jumlah tidak besar, bunganya yang relatif kecil dan ditransfer ke bank bisa menjadi tidak signifikan dan bisa terpakai.

Cara Menghitung Imbalan Sukuk Ritel
1. Skenario 1 (Harga Par)
Investor A membeli Sukuk Ritel di Pasar Perdana sebesar Rp 10,000,000.00 dengan kupon 12% dan tidak dijual sampai jatuh tempo, maka hasil yang diperoleh adalah :
Imbalan = 12% x Rp 10,000,000.00 x 1/12
= Rp 100,000.00 setiap bulan sampai
dengan jatuh tempo

Nilai Nominal saat jatuh tempo = Rp 10,000,000.00
Total yang diperoleh saat jatuh tempo = Imbalan + Nilai Nominal
= Rp 10,100,000.00

2. Skenario 2 (Harga Premium atau harga sedang naik)
Investor B membeli Sukuk Ritel di Pasar Perdana sebesar Rp 10,000,000.00 dengan kupon 12% dan dijual ke Pasar Sekunder dengan harga 105%, maka hasil yang diperoleh adalah :
Imbalan = 12% x Rp 10,000,000.00 x 1/12
= Rp 100,000.00 setiap bulan sampai
dengan dijual.
Capital Gain saat dijual = Rp 10,000,000.00 x (105-100)%
= Rp 500,000.00

Nilai Nominal saat dijual = Nilai Nominal + Capital Gain
= Rp 10,000,000.00 + Rp 500,000
= Rp 10,500,000.00

Total yang diperoleh saat dijual = Imbalan + Nilai Nominal pada saat
dijual.
= Rp 10,600,000.00

3. Skenario 3 (Harga Discount atau harga sedang turun)
Investor C membeli Sukuk Ritel di Pasar Perdana sebesar Rp 10,000,000.00 dengan kupon 12% dan dijual ke Pasar Sekunder dengan harga 95%, maka hasil yang diperoleh adalah :
Imbalan = 12% x Rp 10,000,000.00 x 1/12
= Rp 100,000.00 setiap bulan
sampai dengan dijual

Capital Loss saat dijual = Rp 10,000,000.00 x (95-100)%
= – Rp 500,000.00
Nilai Nominal saat dijual = Nilai Nominal + Capital Loss
= Rp 10,000,000.00 – Rp 500,000
= Rp 9,500,000.00

Total yang diperoleh saat dijual = Imbalan + Nilai Nominal pada
saat dijual
= Rp 9,600,000.00

Catatan :
Ilustrasi diatas belum memperhitungkan biaya-biaya transaksi dan pajak.
Transaksi penjualan di pasar sekunder dengan asumís penjualan terjadi pada saat pembayaran imbalan, sehingga tidak memperhitungkan accured yang ada.

Prospek Sukuk di Indonesia
Pasar keuangan di Indonesia baru saja mencatat sejarah baru. Meski terlambat, Pada Mei 2008 lalu, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang No. 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau UU Sukuk Negara (sovereign sukuk). kita patut memberikan apresiasi tinggi atas upaya pemerintah dan DPR yang berhasil menghasilkan UU Sukuk Negara ini. Dikatakan terlambat, karena perkembangan sukuk di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai oleh swasta, meskipun pangsanya masih kecil.
Pada tahun ini, pemerintah berencana menerbitkan sukuk hingga Rp18 triliun. Bila dibandingkan dengan obligasi negara konvensional, rencana penerbitan sukuk ini memang masih kecil. Namun, dimulainya penerbitan sukuk ini oleh pemerintah ini akan dapat menjadi trigger bagi penerbitan sukuk lainnya. Dengan diberlakukannya UU Sukuk Negara dan adanya rencana penerbitan sukuk oleh pemerintah, itu berarti sukuk kini menjadi instrumen pembiayaan yang diakui sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap sukuk kita, baik sukuk negara maupun sukuk korporasi.
Fakta menunjukkan perkembangan sukuk memang dimulai dengan adanya soverign sukuk. Berdasarkan data dari Standard & Poor’s (S&P), bila pada tahun 2003, sovereign sukuk masih mendominasi pasar sukuk global yaitu sebesar 42% dan sukuk yang diterbitkan oleh lembaga keuangan sebesar 58%, maka sejak saat itu komposisinya mengalami pergeseran. Pada tahun 2007, kini justru sukuk korporasi yang mendominasi pasar sukuk global, yaitu sekitar 71%, lembaga keuangan 26%, dan pemerintah tinggal 3%.
Perkembangan Sukuk
Sukuk kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sistem keuangan global. Pada tahun 2007, nilai sukuk yang diperdagangkan di pasar global telah meningkat lebih dari dua kali dibandingkan tahun 2006, dan mencapai US$62 miliar dibandingkan tahun 2006 sebesar US$27 miliar. Dari tahun 2001 hingga tahun 2006, Sukuk mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 123%. Berdasarkan proyeksi S&P, dalam lima tahun ke depan, pasar sukuk dapat menembus level US$100 miliar, tergantung pada kondisi stabilitas pasar kredit. Sementara itu, Moody’s memperkirakan bahwa pasar sukuk akan meningkat sebesar 35% per tahun. Pada tahun 2010, pasar sukuk global diperkirakan dapat menembus hingga US$200 miliar, terutama ditopang oleh negara-negara di kawasan Teluk, Inggris, Jepang, dan Thailand.
Pengembangan sukuk sangat didukung regulator dan pemerintah di kawasan Teluk dan Asia. Kini, semakin banyak negara yang telah menerbitkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan. Pada tahun 2007, telah ada 10 negara yang menerbitkan sukuk, padahal pada tahun 2001 baru ada 2 negara. Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia masih mempertahankan sebagai negara penerbit sukuk terbesar di dunia. Pada tahun 2007, lebih dari US$25 miliar sukuk (atau sekitar 75% dari seluruh sukuk yang diterbitkan di seluruh dunia pada tahun itu) adalah sukuk yang diterbitkan oleh UEA dan Malaysia. Sementara itu, Malaysia sendiri menguasai sekitar 66% dari seluruh penerbitan sukuk di dunia.
S&P memperkirakan Malaysia dan UEA akan tetap memegang posisinya sebagai penguasa pasar, karena ditopang oleh regulator dan status UEA sebagai pintu masuk (gateway) para investor global. Selain dukungan yang kuat dari pemerintah setempat, perkembangan pesat tersebut juga tidak terlepas dari kinerja sukuk itu sendiri. Berdasarkan data dari Dowjones terlihat bahwa di seluruh dunia indeks surat berharga yang berbasis syariah (saham dan sukuk), kinerjanya lebih baik dibandingkan indeks konvensional. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, sebagai negara terbesar dalam hal pangsa pasar penerbitan sukuk di dunia.
Potensi Bagi Indonesia
Sebagaimana disebut di atas, perkembangan sukuk di Indonesia sesungguhnya bermula karena adanya inisiatif dari swasta. Dukungan yang kurang dari pemerintah dan regulator terhadap perkembangan sukuk ini, menyebabkan posisi Indonesia dalam pasar keuangan syariah global tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Hingga saat ini, baru terdapat sekitar 20 sukuk yang diakui sebagai emiten syariah oleh Bapepam.
Dengan diberlakukannya UU Sukuk Negara, diperkirakan perkembangan pasar sukuk di Indonesia bakal lebih semarak dibandingkan sebelumnya. Terlebih lagi, minat investor terhadap sukuk ini sangat besar, sebagaimana ditunjukan dari perkembangan sukuk global saat ini. Tahun ini pemerintah memang memfokuskan diri untuk pengembangan pasar sukuk domestik. Jika penerbitan perdana ini sukses, diperkirakan akan semakin menarik investor asing, khususnya dari Timur Tengah, untuk masuk ke pasar keuangan syariah di Indonesia.
Namun demikian, pasar sukuk di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, pasar keuangan syariah di Indonesia tidak terlalu likuid. Penyebabnya, pangsa pasarnya yang relatif kecil, yaitu kurang dari 5% dari seluruh sistem keuangan di Indonesia. Kecilnya pangsa pasar keuangan syariah ini diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan pasar sukuk domestik akan tetap terbatas. Oleh karenanya, bila langkah perdana pemerintah menerbitkan sukuk domestik berhasil, selanjutnya perlu dibuka pasar sukuk global sebagai benchmark bagi penerbitan sukuk global lainnya, baik sovereign sukuk maupun corporate sukuk.
Selain itu, regulasi yang masih dirasakan menghambat perkembangan pasar sukuk domestik juga perlu dibenahi, sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/12 tahun 2004. Dalam PBI tersebut, bank yang memiliki sukuk agar memegangnya hingga jatuh tempo. Meski aturan ini penting untuk menjaga aspek kesyariahan bank syariah, namun PBI ini perlu direvisi agar tidak menghambat likuiditas pasar sukuk.
Kedua, belum adanya kepastian masalah perpajakan terkait dengan transaksi yang melibatkan investor sukuk. Permasalahan perpajakan ini tidak hanya terkait dengan sukuk, namun menyangkut transaksi keuangan syariah secara keseluruhan. Isu yang paling mengemuka adalah adanya double taxation dalam transaksi keuangan syariah.
Ketiga, kebanyakan produk keuangan syariah bersifat “debt-based” atau “debt-likely”. Padahal, idealnya keuangan syariah adalah “profit-loss sharing”. Ini terlihat dari komposisi tingkat kupon sukuk yang dibayarkan masih mendasarkan pada tingkat suku bunga tertentu. Sehingga, tidak mengherankan jika AAOIFI memberikan penilaian bahwa sekitar 85% sukuk belum sesuai dengan syariah. Oleh karena itu, bagi Indonesia perlu pengembangan inovasi dan struktur sukuk yang lebih beragam.***

20.34

MENELISIK PERKEMBANGAN REGULASI PERBANKAN SYARIAH Oleh AHMADIONO

AHMADIONO[1]

Pendahuluan
Kebangkitan Islam pada awal abad kedua puluh, diidentifikasi sebagai upaya memandang modernisasi yang berkembang dalam frame Islam. Dalam bahasa lugas Huntington, ia dipahami sebagai perwujudan dari penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern.[2] Secara massif kebangkitan Islam dibarengi simbolisasi Islam dalam setiap aspek kehidupan masyarakat muslim. Pada beragam literatur, gerakan ini dikenal sebagai gerakan islamisasi dalam setiap aspek kehidupan.
Gerakan islamisasi ini terasa kuat gaungnya terutama semenjak awal abad ke-20. Berbeda dengan apa yang dilakukan pembaharu pendahulunya yang cenderung mengambil alih ilmu pengetahuan modern dan institusi yang datang dari Barat, para penggagas islamisasi ini lebih memilih jalan adanya upaya integrasi antara Islam dengan ilmu pengetahuan dan beragam institusi yang berkembang di Barat. Dalam konteks dunia perbankan, upaya islamisasi itu diwujudkan dalam upaya membangun sistem perbankan yang didasarkan atas ajaran Islam. Eksperimentasi pertama perbankan berbasis syariah Islam pada masa ini dibuat dalam bentuk bank tabungan pedesaan di Mit-Ghamer di delta sungai Nil dari tahun 1963-1973 oleh Ahmad an-Najjar. Eksperimen yang lain dilakukan di Karachi, Pakistan, oleh S.A. Irshad yang mendirikan sebuah bank koperasi pada bulan Juni 1965, namun bank ini tidak berhasil karena terjadinya salah pengelolaan dan kurangnya supervisi resmi dan pada akhirnya terpaksa ditutup.[3]
Kehadiran dua eksperimentasi ini, menurut Nejatullah Siddiqi, merupakan bentuk koreksi terhadap bank konvensional yang menggunakan instrumen bunga. Koreksi ini setidaknya mengarah pada, pertama, sistem bank berbasis bunga dinilai merugikan masyarakat yang dipengaruhinya, baik pada tingkat kegiatan ekonomi, alokasi sumber dana dan  nilai uang. Kedua, mengajukan satu alasan bahwa terdapat suatu alternatif pengganti pranata bunga dalam bentuk bagi hasil. Ketiga, perubahan dari sistem bunga kepada sistem bagi hasil tidak saja akan menyelamatkan masyarakat dari akibat-akibat buruk perbankan, akan tetapi juga akan memberikan pelayanan yang lebih adil kepada masyarakat.[4]
Upaya pengembangan operasional bank berbasis syariah juga menjadi isu hangat di kalangan kaum muslim Indonesia semenjak tahun 1970-an. Keinginan kuat ini baru terwujud sekitar dua puluh tahun kemudian, yakni ketika secara resmi pemerintah menfasilitasi pendirian PT Bank Muamalat Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 november 1991. Semenjak inilah, hingga kini, bank syariah telah menjadi salah satu institusi yang sangat eksis dalam industri perbankan nasional.
Melihat fakta di atas, dibanding beberapa negara lain, Indonesia termasuk negara yang agak terbelakang dalam merespon keinginan pengembangan bank syariah. Hal ini bisa dilihat dari agresifitas beberapa negara yang terlebih dahulu mengoperasikan system syariah dalam dunia perbankan. Misalnya, Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975.[5] Pendirian IDB ini pun segera diikuti oleh pendirian bank Islam lainnya di berbagai negara, khususnya di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, seperti Dubai Islamic Bank pada tahun 1975,[6] Bank syariah Faisal Islamic Bank di Mesir yang mulai beroperasi pada bulan Maret 1978, Kuwait Finance House yang didirikan pada tahun 1977,  dan sesebagainya.[7]
 Salah satu faktor penting yang menjadi penyebab kondisi itu adalah problem regulasi yang berkembang di Indonesia. Dalam konteks ini, makalah ini  ini berkehendak mengelaborasi perkembangan regulasi perbankan syariah di Inonesia.  Penekanan pada aspek deregulasi ini menjadi faktor penting dalam melihat perkembangan perbankan syariah di Indonesia.

Regulasi Perbankan Syariah:
Kasus Indonesia
Secara periodic, pengaturan system perbankan di Indonesia diatur melalui undang-undang tentang perbankan. Seiring dengan dinamika perkembangan sosial ekonomi di tengah masyarakat di Indonesia, undang-undang yang mengatur tentang perbankan kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Menyangkut perubahan regulasi yang mengakomodasi diberlakukannya bank syariah, tulisan ini, secara periodik akan melihat sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1992 sampai diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2008.

Periode Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992
Titik terang pendirian lembaga bank dengan sistem syariah, secara yuridis, muncul setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dalam undang – undang ini, secara eksplisit dinyatakan, bahwa selain menyediakan layanan berbasis bunga, bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat menyelenggarakan layanan penghimpunan dan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
Ketentuan penyelengaraan bank dengan system bagi hasil itu diatur dalam Bab II bagian kedua tentang usaha bank umum dan bagian ketiga tentang usaha bank perkreditan rakyat. Secara ekplisit, pada pasal 6 (m) disebutkan, bahwa salah satu usaha bank umum adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Demikian pula pada pasal 13 (d) disebutkan, bahwa bank perkerditan rakyat dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. 
Ketentuan tentang bank bagi hasil, seperti ditungkan dalam dua pasal tersebut, kemudian ditindalnajuti oleh PP No. 72 Tahun 1992. Ketentuan terpenting yang berkaitan dengan system syariah pada peraturan tersebut adalah penegasan pada pasal 2 (1) yang menyatakan, bahwa prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat.[8]
Penegasan dan penjelasan peraturan pemerintah ini pun menjadi tonggak bagi pengembangan bank syariah di Indonesia. Apalagi, arah usaha yang harus dilakukan itu oleh bank bagi hasil juga dijelaskan secara utuh pada pasal 6 peraturan tersebut. Pada pasal ini disebutkan;
1.     bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan uasahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
2.     bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Selain mengacu kepada kedua aturan di atas, operasionalisasi bank Islam juga dikuatkan oleh surat edaran Bank Indonesia yang memuat ketentuan sebagai berikut;[9]
Pertama, bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasar prinsip bagi hasil.
Kedua, prinsip bagi hasil yang imaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah.
Ketiga, bank berdasar prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah
Keempat, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Demikianlah regulasi pada periode ini secara tegas mengakomodasi beeroperasinya bank dengan sistem syariah. Hanya saja, regulasi tersebut berlaku secara terbatas, sehingga pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah periode ini tidak mengalami perkembangan signifikan.

Periode Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Perkembangan regulasi perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-undang ini, selain  secara tegas sistem menempatkan sistem perbankan syariah sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem perbankan nasional, juga memperkokoh posisi dan eksistensi industri bank syariah.
Salah satu perubahan mendasar dalam undang-undang ini adalah penegasan istilah prinsip syariah, menggantikan istilah prinsip bagi hasil pada undang-undang nomor 7 Tahun 1992. Bahkan, pengasan akan prinsip syariah ini juga dinyatakan secara ekplisit dalam bentuk hukum perikatan dalam Islam. Pada pasal 1ayat 13 dinyatakan;
“Bahwa Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudlarabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina’)   

Secara umum, beberapa perubahan mendasar yang medorong penguatan pengaturan eksistensi bank syariah dalam undang-undang ini meliputi hal-hal sebagai berikut;
Pertama, penegasan kelembagaan dan operasional bank syariah. Dalam konteks ini, bank umum ataupun bank prkreditan rakyat dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasar prinsip syariah.[10]Ketentuan ini sekaligus memberikan suatu kebijakan dual banking system dalam system perbankan nasional.
Kedua, konversi bank konvensional menjadi bank dengan prinsip syariah.
Ketiga, bank umum konvensional dapat menyelenggarakan kegiatan usaha berdasar prinsip syariah, yakni dengan membuka unit usaha syariah yang dapat beroperasi dalam setiap cabangnya.
Keempat, mengakomodasi pembentukan dan tugas dewan pengawas syaraih, seperti tertuang dalam penjelasan atas UU Nomor 10 Tahun 1998 pasal 6 huruf m. Keberadaan dewan pengawas ini memang menjadi salah satu badan yang terintegrasi dalam struktur bank syariah.[11]
Sebagai wujud pelaksanaan undang-undang ini, Bank Indonesia kemudian mengelurakan beragam ketentuan, baik berupa Surat Keputusan atau Peraturan Bank Indonesia, yang memberikan landasan hukum lebih kuat bagi pengembangan perbankan secara luas di Indonesia. Beberapa contoh ketentuan regulasi yang dikeluarkan BI  dan berhubungan dengan operasional bank syariah adalah sebagai berikut;
1.      Surat Keputusan Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Surat keputusan ini kemudian diubah menjadi PBI No. 6/24/PBI/2004 tangggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip syariah. Surat keputusan ini berisi seputar pengaturan pendirian, kelembagaan, dan operasi Bank Umum Syariah.
2.      SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 jo PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Dua aturan BI ini berhubungan dengan mekanisme pendirian, struktur organisasi, dan opersional Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
3.      PBI Nomor 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 jo PBI No. 7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah.
4.      PBI Nomor 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari tentang kliring bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional.
5.      PBI No 2/9/PBI2000tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Waadiah Bank Indonesia.
Beragam ketentuan dalam undang-undang dan ketentuan BI di atas menjadi salah penopang bagi kelangsungan operasi bank syariah dalam menjalankan usahanya. Sehingga, tidaklah mengherankan, bila pasca pemberlakuan undang-undang ini, pertumbuhan industri bank syariah mengalami peningkatan yang cukup pesat bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini lantaran peraturan yang ada memberikan peluang untuk untuk pengembangan jaringan perbankan syariah.
Secara umum, akomodasi terhadap prinsip syariah dalam undang-undang nomor 10 Tahun 1998 ini bertujuan untuk; pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya system perbankan syariah disamping system perbankan konevsensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas. Kedua, membuka peluang pembiayaan bagi bagi pengembangan usaha berdasarkan kemitraan, yakni mengedepankan prinsip antar investor yang harmonis (mutual investor relationship). Ketiga, memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memberikan rasa kenyamanan dan berkeadilan.[12]
Namun demikian, meskipun Undang-Undang ini telah mengakomodasi sistem perbankan syariah, tetapi ia sebatas menjelaskan pembiayaan berdasar prinsip syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. Oleh karena itu, sejatinya dibutuhkan pengaturan yang lebih spesifik, selaras dengan karakteristik bank syariah, yakni mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam dalam sektor keuangan.

Periode Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Untuk mendukung dan memperkokoh keberadaan bank syariah, maka pada tanggal 18 Juli tahun 2008, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Undang – undang ini memuat secara khusus mengenai pengaturan tentang perbankan syariah secara komprehensif, yakni meliputi1) asas, tujuan dan fungsi, 2) perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan, 3) jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, 4). Pemegang sahama pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi dan tenaga kerja asing, 5) tata kelola, prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko perbankan syariah, 6) rahasia bank, 7) pembinaan dan pengawasan, hingga penyelesaian sengketa perbankan.[13]
Sebagaimana dipaparkan dalam penjelasannya, bahwa kehadiran undang-undang ini didasarkan atas pemikiran; pertama, memaksimalkan kontribusi seluruh elemn masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satunya adalah mengintegrasikan sistem ekonomi berdasarkan syariah ke dalama system Hukum Nasioanl. Kedua, prinsip bagi hasil yang dikembangkan perbankan syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat berbagi dalam memperoleh keuntungan maupun potensi risiko yang dapat timbul dari usahanya. Ketiga, perbankan syariah memerlukan pendukung vital berupa Undang – Undang yang mengatur secara spesifik bagi pengembangan lembaga tersebut.[14]
  Implikasi terpenting dari undang-undang ini bagi keberadaan dan pengembangan bank syariah adalah sebagai berikut;
Pertama, jaminan kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum menjadi landasan mendasar sekaligus penting bagi pelaku usaha, khususnya mereka yang menggunakan jasa perbankan syariah. Demikian pula, kepastian hukum demikian ini akan turut membantu para investor, baik local maupun asing, untuk turut menanamkan investasinya ke dalam perbankan syariah.
Kedua, pendingkatan dukungan pemerintah. Lahirnya undang-undang ini tentu akan semakin meningkatkan dukungan pemerintah yang lebih nyata dalam memajukan perbankan syariah. Tingkat dukungan pemerintah tersebut dapat berupa peningkatan sosialisasi kepada masyarakat luas yang belum memiliki pengetahuan yang memadai menyangkut perbankan syariah. Dengan adanya undang-undang ini, secara formal, sosialisasi perbankan syariah akan memasuki institusi-institusi formal, terutama dalam kurikulum di perguruan tinggi yang memuat materi tentang perbankan syariah. Selain itu, dukungan pemerintah dapat diwujudkan dalam mengundang investor, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mengembangkan industry perbankan di tanah air.[15]
Ketiga, terintegrasinya peran BI dan DPS. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, Undang-Undang ini juga mengatur tentang masalah kepatuhan syariah yang kewenangannya berada pada MUI dan direpresentasikan oleh DPS pada masing-masing Bank syariah dan UUS. Oleh karena itu, untuk menindaklanjuti implementasi fatwa MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite pengawas syariah. Komite ini beranggotan perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen agama, dan unsure masyarakat.[16]
 Dalam konteks pengembangan bank syariah, lahirnya Undang-Undang ini juga memberi peluang bagi bank syariah untuk memperluas pangsa pasarnya. Hal ini dapat dilihat dari beragam peluang yang menjadi dasar pengaturan perbankan syariahsebagai berikut;
Pertama, bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, sementara bank konvensional dan mengkonversi diri menjadi bank syariah.[17]
Kedua, penggabungan (merger) atau akuisisi antara bank syariah dengan bank konvensional wajib menjadi bank syaraih.[18]
Ketiga,   bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah harus melakukan pemisahan (spin off) bilamana unit usaha syariah tersebut telah mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya, atau kegiatan unit usaha syariah tersebut telah berjalan selama lima belas tahun semenjak diberlakukannya undang-undang ini.[19]
Keempat, akselerasi pengembangan bank syariah dapat dilakukan secara cepat melalui kemungkinan pemilikan asing. Warga Negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia dapat mendirikan dan/atau memiliki bank umum syariah.[20]
Selain potensi pengembangan usaha komersial melalui beragam peluang di atas, undang-undang ini juga menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul mal, yakni menerima dana yang berasal dari dana-dana zakat, infak dan sadaqah, hibah atau dana sosial lainnya, sekaligus menyalurkan dana-dana tersebut melalui organisasi pengelola zakat.[21]Demikian juga, bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial dari wakaf tunai dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nadzir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).[22]   

Penutup  
Perkembangan regulasi mengenai kebijkan pengembangan perbankan syariah, sebagaimana dia paparkan di atas, memberi arah yang semakin baik bagi perbankan syariah. Kenyataan ini memberi peluang bagi kalangan perbankan syariah untuk semakin memantapkan proses penguatan dan pengembangan bank syariah. Setidaknya, penguatan karakter dasar, pemurnian operasi, proses sosialisasi, dan perluasan market, merupakan tantangan yang dapat segera diatasi pasca kepastian hukum yang telah dimiliki perbankan syariah.















Daftar Pustaka


Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Teori dan Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Chapra, M Umar.  Masa Depan ilmu Ekonomi : Tinjauan Islam . Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Huntington, Samuel P.  Benturan AntarPeradaban dan Masa Depan Politik Dunia, ter. M Sadat Ismail. Jogjakarta: Penerbit Qalam, 2001183.

Machmud, Amir  dan Rukmana. Bank Syariah: Teori, Kebijakan dan Syudi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.

Penjelasan atas UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Permataatmadja, Karnaen, et.al.  Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

PP tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, PP No. 72, LN No. 119 Tahun 1992, pasal 2.

SE. BI No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993.

Siddiqi, Nejatullah.  Bank Islam. Bandung: Pustaka, 1984.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.




[1] Beliau adalah salah satu dosen jurusan syariah di STAIN jember
[2] Samuel P Huntington, Benturan AntarPeradaban dan Masa Depan Politik Dunia, ter. M Sadat Ismail (Jogjakarta: Penerbit Qalam, 2001), 183.
[3] M Umar Chapra, Masa Depan ilmu Ekonomi : Tinjauan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 228.
[4] Nejatullah Siddiqi, Bank Islam (Bandung: Pustaka, 1984), 84-85
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 21.
[6] Chapra, Masa Depan, 228.
[7] Secara ringkas perkembangan pendirian perbankan ini dapat diliha pada tulisan M Sayfii Antonio, Bank Syariah, 22-25.
[8] PP tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, PP No. 72, LN No. 119 Tahun 1992, pasal 2.
[9] Lihat: SE. BI No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993.
[10] Lihat pasal 1 huruf  (3&4) Undang-Undang Nnomor 10 Tahun 1998.
[11] Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
[12] Karnaen Permatadmadja, et.al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2001, 2006), 53-54.
[13] Lihat pengaturan pembahasan dalam bab – bab Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
[14] Lihat Penjelasan atas UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
[15] Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah: Teori, Kebijakan dan Syudi Empiris di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2010), 74.
[16] Lihat Penjelasan Umum Penjelasan atas UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

[17] Lihat pasal 5 ayat 7 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[18] Lihat pasal 17 ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[19] Lihat pasal 68 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[20] Lihat pasal 9 ayat 1 butir b UU Nomor 21 Tahun 2008.
[21] Lihat pasal 4 ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[22] Lihat pasal 4 ayat 3UU Nomor 21 Tahun 2008.

20.22

Analisa Break Event Point ( BEP )


ANALISA BREAK EVENT POINT
Analisa Break Event adalah suatu teknik analisa untuk mempelajari hubungan antara Biaya Tetap, Biaya Variabel, Keuntungan dan Volume aktivitas. Masalah Break Event baru akan muncul dalam perusahaan apabila perusahaan tersebut mempunyai Biaya Variabel dan Biaya Tetap. Suatu perusahaan dengan volume produksi tertentu dapat menderita kerugian dikarenakan penghasilan penjualannya hanya mampu menutup biaya variabel dan hanya bisa menutup sebagian kecil biaya tetap.
Contribution Margi adalah selisih antara penghasilan penjualan dan biaya variabel, yang merupakan jumlah untuk menutup biaya tetap dan keuntungan. Perusahaan akan memperoleh keuntungan dari hasil penjualannya apabila Contribution Marginnya lebih besar dari Biaya Tetap, yang berarti total penghasilan penjualan lebih besar dari total biaya.
Break Event Point menyatakan volume penjualan dimana total penghasilan tepat sama besarnya dengan total biaya, sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan dan juga tidak menderita kerugian.
Break Event Point ditinjau dari konsep Contribution Margin menyatakan bahwa volume penjualan dimana Contribution Margin tepat sama besarnya dengan total Biaya Tetapnya.
Asumsi dasar dalam analisa break event, antara lain :
a.              Biaya dapat diklasifikasikan kedalam komponen biaya variabel dan biaya tetap.
b.              Total biaya variabel berubah secara proporsional dengan volume produksi atau penjualan, sedangkan total biaya variabel per unit tetap konstan.
c.              Total biaya tetap tidak mengalami perubahan, meskipun ada perubahan volume produksi atau penjualan, sedangkan biaya tetap per unit akan berubah karena adanya perubahan volume kegiatan.
d.              Harga jual per unit tidak akan berubah selama periode melakukan analisa.
e.              Perusahaan hanya membuat dan menjual satu jenis produk. Jika membuat dan menjual lebih dari satu jenis produk, maka perbandingan penghasilan penjualan antara masing-masing produk (disebut sebagai Sales Mix) akan tetap konstan.
f.               Kapasitas produksi pabrik relatif konstan.
g.              Harga faktor produksi relatif konstan.
h.              Efisiensi produksi tidak berubah.
i.                Perubahan pada persediaan awal dan akhir jumlahnya tidak berarti.
j.                Volume merupakan faktor satu-satunya yang mempengaruhi biaya.

Breakevent Point dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu:
a.       Pendekatan grafik :
Breakevent Point terjadi pada titik persilangan antara garis penghasilan penjualan dan garis total biaya.
b.      Metode Trial and Error
c.       Pendekatan matematis :
Rumus matematika untuk menentukan BEP adalah :
                                          Total Biaya Tetap
BEP (unit) =          _____________________________
                              Harga jual per unit – Biaya Variabel/unit

                                           Total Biaya Tetap
BEP (Rp)  =          ________________________
                              1    -   Total Biaya Variabe
                                        Total hasil penjualan
Margin ogf Safety adalah batas keamanan yang menyatakan sampai seberapa jauh volume penjualan yang dianggarkan boleh turun agar perusahaan tidak menderita rugi atau dengan kata lain, batas maksimum penurunan volume penjualan yang dianggarkan, yang tidak mengakibatkan kerugian.
Contoh soal :
A.      Rencana penjualan tahun 2000 meliputi kedua jenis produk adalah sebagai berikut:
1. Penjualan :              Produk A = 15.000 Unit @ Rp 1.000
Produk B =  10.000 Unit @ Rp   750
2. Biaya :                     Biaya Variabel untuk :
Produk A = Rp 500 per unit
Produk B = Rp 300 per unit
Biaya Tetap keseluruhan Rp 5.000.000 setahun
 Dengan data tersebut saudara diminta untuk :
1.      Menentukan BEP perusahaan secara keseluruhan dalam rupiah
2.      Menentukan BEP produk A dalam unit
3.      Menentukan BEP produk B dalam unit
B.      Sebuah perusahaan menjual 100.000 buah hasil produksinya dengan harga Rp 20,- per buah. Biaya Variabel per buah barang adalah Rp 14,- (yang Rp 11,- adalah biaya produksi dan sisanya adalah biaya pemasaran)..
Biaya Tetap, terjadinya secaa merata berjumlah : Rp 792.000 (yang      Rp 500.000,- biaya produksi dan lainnya adalah biaya pemasaran).
Pertanyaan :
a. Tentukan BEP dalam rupiah dan unit
b. Menghitung berapa buah barang yang harus dijual agar perusahaan untung Rp 90.000,-

PENTINGNYA ANGGARAN MODAL
Beberapa alasan mengapa anggaran modal mempunyai arti yang sangat penting bagi perusahaan, antara lain adalah:
1. Dana yang dikeluarkan akan terikat untuk jangka waktu yang panjang.
2. Investasi dalam aktiva tetap menyangkut harapan terhadap hasil penjualan di masa yang akan datang.
3. Pengeluaran dana untuk keperluan tersebut, biasanya meliputi jumlah yang besar dan sulit untuk menjual kembali aktiva tetap yang telah dipakai.
4. Kesalahan dalam pengambilan keputusan mengenai pengeluaran modal tersebut akan mengakibatkan kerugian besar, dengan dampak antara lain: biaya depresiasi yang berat, beban bunga modal pinjaman, biaya per unit yang meningkat bilamana kapasitas mesin terlalu besar tetapi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Oleh karena itu keputusan tentang pemilihan investasi merupakan keputusan yang paling penting diantara berbagai jenis keputusan yang harus diambil oleh seorang manajer keuangan. Keputusan tersebut tidak saja menentukan tingkat risiko yang harus ditanggung melainkan juga menentukan tingkat keuntungan perusahaan untuk masa mendatang.
KLASIFIKASI PROYEK (INVESTASI)
Perusahaan pada umumnya mengklasifikasikan proyek atau investasi sebagai berikut:
1. Penggantian (replacement)
2. Penggantian dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Penggantian untuk kelangsungan usaha
Meliputi pengeluaran untuk menggantikan peralatan yang rusak dimana peralatan tersebut digunakan untuk berproduksi. Hal-hal yang penting diperhatikan dalam penggantian ini, adalah:
-          Apakah produk dan jasa yang dihasilkan akan diteruskan?
-          Apakah pabrik yang ada saat ini akan tetap digunakan?
Bila jawaban atas pertanyaan tersebut adalah ya, keputusan untuk mempertahankan kelangsungan usaha akan dilakukan tanpa melalui proses yang rumit.
b. Penggantian untuk menurunkan biaya
Mencakup pengeluaran untuk menggantikan peralatan yang masih bisa diperbaiki, tapi peralatan tersebut dinilai telah usang. Tujuannya untuk menurunkan biaya tenaga kerja, biaya bahan dan biaya-biaya lainnya seperti gas, listrik dan air.
3. Perluasan (expansion)
Perluasan juga dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a.      Ekspansi atas produk yang sudah ada saat ini
Mencakup pengeluaran untuk meningkatkan kuantitas produk yang ada saat ini atau untuk menambah outlet penjualan serta fasilitas distribusi.
b.      Ekspansi produk atau pasar baru
Meliputi pengeluaran untuk memproduksi produk baru atau untuk meluaskan pasar ke wilayah yang belum disentuh oleh perusahaan. Proyek ini menyangkut keputusan strategis yang bisa mengubah sifat usaha perusahaan dengan pengeluaran yang biasanya besar dan bersifat jangka panjang.
4. Lainnya, seperti bangunan kantor, fasilitas bagi eksekutif, lapangan parkir.

Terpopuler