20.34

MENELISIK PERKEMBANGAN REGULASI PERBANKAN SYARIAH Oleh AHMADIONO

AHMADIONO[1]

Pendahuluan
Kebangkitan Islam pada awal abad kedua puluh, diidentifikasi sebagai upaya memandang modernisasi yang berkembang dalam frame Islam. Dalam bahasa lugas Huntington, ia dipahami sebagai perwujudan dari penerimaan terhadap modernitas, penolakan terhadap kebudayaan Barat, dan re-komitmen terhadap Islam sebagai petunjuk hidup dalam dunia modern.[2] Secara massif kebangkitan Islam dibarengi simbolisasi Islam dalam setiap aspek kehidupan masyarakat muslim. Pada beragam literatur, gerakan ini dikenal sebagai gerakan islamisasi dalam setiap aspek kehidupan.
Gerakan islamisasi ini terasa kuat gaungnya terutama semenjak awal abad ke-20. Berbeda dengan apa yang dilakukan pembaharu pendahulunya yang cenderung mengambil alih ilmu pengetahuan modern dan institusi yang datang dari Barat, para penggagas islamisasi ini lebih memilih jalan adanya upaya integrasi antara Islam dengan ilmu pengetahuan dan beragam institusi yang berkembang di Barat. Dalam konteks dunia perbankan, upaya islamisasi itu diwujudkan dalam upaya membangun sistem perbankan yang didasarkan atas ajaran Islam. Eksperimentasi pertama perbankan berbasis syariah Islam pada masa ini dibuat dalam bentuk bank tabungan pedesaan di Mit-Ghamer di delta sungai Nil dari tahun 1963-1973 oleh Ahmad an-Najjar. Eksperimen yang lain dilakukan di Karachi, Pakistan, oleh S.A. Irshad yang mendirikan sebuah bank koperasi pada bulan Juni 1965, namun bank ini tidak berhasil karena terjadinya salah pengelolaan dan kurangnya supervisi resmi dan pada akhirnya terpaksa ditutup.[3]
Kehadiran dua eksperimentasi ini, menurut Nejatullah Siddiqi, merupakan bentuk koreksi terhadap bank konvensional yang menggunakan instrumen bunga. Koreksi ini setidaknya mengarah pada, pertama, sistem bank berbasis bunga dinilai merugikan masyarakat yang dipengaruhinya, baik pada tingkat kegiatan ekonomi, alokasi sumber dana dan  nilai uang. Kedua, mengajukan satu alasan bahwa terdapat suatu alternatif pengganti pranata bunga dalam bentuk bagi hasil. Ketiga, perubahan dari sistem bunga kepada sistem bagi hasil tidak saja akan menyelamatkan masyarakat dari akibat-akibat buruk perbankan, akan tetapi juga akan memberikan pelayanan yang lebih adil kepada masyarakat.[4]
Upaya pengembangan operasional bank berbasis syariah juga menjadi isu hangat di kalangan kaum muslim Indonesia semenjak tahun 1970-an. Keinginan kuat ini baru terwujud sekitar dua puluh tahun kemudian, yakni ketika secara resmi pemerintah menfasilitasi pendirian PT Bank Muamalat Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 november 1991. Semenjak inilah, hingga kini, bank syariah telah menjadi salah satu institusi yang sangat eksis dalam industri perbankan nasional.
Melihat fakta di atas, dibanding beberapa negara lain, Indonesia termasuk negara yang agak terbelakang dalam merespon keinginan pengembangan bank syariah. Hal ini bisa dilihat dari agresifitas beberapa negara yang terlebih dahulu mengoperasikan system syariah dalam dunia perbankan. Misalnya, Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975.[5] Pendirian IDB ini pun segera diikuti oleh pendirian bank Islam lainnya di berbagai negara, khususnya di negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, seperti Dubai Islamic Bank pada tahun 1975,[6] Bank syariah Faisal Islamic Bank di Mesir yang mulai beroperasi pada bulan Maret 1978, Kuwait Finance House yang didirikan pada tahun 1977,  dan sesebagainya.[7]
 Salah satu faktor penting yang menjadi penyebab kondisi itu adalah problem regulasi yang berkembang di Indonesia. Dalam konteks ini, makalah ini  ini berkehendak mengelaborasi perkembangan regulasi perbankan syariah di Inonesia.  Penekanan pada aspek deregulasi ini menjadi faktor penting dalam melihat perkembangan perbankan syariah di Indonesia.

Regulasi Perbankan Syariah:
Kasus Indonesia
Secara periodic, pengaturan system perbankan di Indonesia diatur melalui undang-undang tentang perbankan. Seiring dengan dinamika perkembangan sosial ekonomi di tengah masyarakat di Indonesia, undang-undang yang mengatur tentang perbankan kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Menyangkut perubahan regulasi yang mengakomodasi diberlakukannya bank syariah, tulisan ini, secara periodik akan melihat sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1992 sampai diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2008.

Periode Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992
Titik terang pendirian lembaga bank dengan sistem syariah, secara yuridis, muncul setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Dalam undang – undang ini, secara eksplisit dinyatakan, bahwa selain menyediakan layanan berbasis bunga, bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat menyelenggarakan layanan penghimpunan dan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
Ketentuan penyelengaraan bank dengan system bagi hasil itu diatur dalam Bab II bagian kedua tentang usaha bank umum dan bagian ketiga tentang usaha bank perkreditan rakyat. Secara ekplisit, pada pasal 6 (m) disebutkan, bahwa salah satu usaha bank umum adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Demikian pula pada pasal 13 (d) disebutkan, bahwa bank perkerditan rakyat dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. 
Ketentuan tentang bank bagi hasil, seperti ditungkan dalam dua pasal tersebut, kemudian ditindalnajuti oleh PP No. 72 Tahun 1992. Ketentuan terpenting yang berkaitan dengan system syariah pada peraturan tersebut adalah penegasan pada pasal 2 (1) yang menyatakan, bahwa prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat.[8]
Penegasan dan penjelasan peraturan pemerintah ini pun menjadi tonggak bagi pengembangan bank syariah di Indonesia. Apalagi, arah usaha yang harus dilakukan itu oleh bank bagi hasil juga dijelaskan secara utuh pada pasal 6 peraturan tersebut. Pada pasal ini disebutkan;
1.     bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan uasahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
2.     bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Selain mengacu kepada kedua aturan di atas, operasionalisasi bank Islam juga dikuatkan oleh surat edaran Bank Indonesia yang memuat ketentuan sebagai berikut;[9]
Pertama, bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasar prinsip bagi hasil.
Kedua, prinsip bagi hasil yang imaksudkan adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan syariah.
Ketiga, bank berdasar prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah
Keempat, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Demikianlah regulasi pada periode ini secara tegas mengakomodasi beeroperasinya bank dengan sistem syariah. Hanya saja, regulasi tersebut berlaku secara terbatas, sehingga pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah periode ini tidak mengalami perkembangan signifikan.

Periode Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Perkembangan regulasi perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan. Undang-undang ini, selain  secara tegas sistem menempatkan sistem perbankan syariah sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem perbankan nasional, juga memperkokoh posisi dan eksistensi industri bank syariah.
Salah satu perubahan mendasar dalam undang-undang ini adalah penegasan istilah prinsip syariah, menggantikan istilah prinsip bagi hasil pada undang-undang nomor 7 Tahun 1992. Bahkan, pengasan akan prinsip syariah ini juga dinyatakan secara ekplisit dalam bentuk hukum perikatan dalam Islam. Pada pasal 1ayat 13 dinyatakan;
“Bahwa Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudlarabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina’)   

Secara umum, beberapa perubahan mendasar yang medorong penguatan pengaturan eksistensi bank syariah dalam undang-undang ini meliputi hal-hal sebagai berikut;
Pertama, penegasan kelembagaan dan operasional bank syariah. Dalam konteks ini, bank umum ataupun bank prkreditan rakyat dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasar prinsip syariah.[10]Ketentuan ini sekaligus memberikan suatu kebijakan dual banking system dalam system perbankan nasional.
Kedua, konversi bank konvensional menjadi bank dengan prinsip syariah.
Ketiga, bank umum konvensional dapat menyelenggarakan kegiatan usaha berdasar prinsip syariah, yakni dengan membuka unit usaha syariah yang dapat beroperasi dalam setiap cabangnya.
Keempat, mengakomodasi pembentukan dan tugas dewan pengawas syaraih, seperti tertuang dalam penjelasan atas UU Nomor 10 Tahun 1998 pasal 6 huruf m. Keberadaan dewan pengawas ini memang menjadi salah satu badan yang terintegrasi dalam struktur bank syariah.[11]
Sebagai wujud pelaksanaan undang-undang ini, Bank Indonesia kemudian mengelurakan beragam ketentuan, baik berupa Surat Keputusan atau Peraturan Bank Indonesia, yang memberikan landasan hukum lebih kuat bagi pengembangan perbankan secara luas di Indonesia. Beberapa contoh ketentuan regulasi yang dikeluarkan BI  dan berhubungan dengan operasional bank syariah adalah sebagai berikut;
1.      Surat Keputusan Direksi BI No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Surat keputusan ini kemudian diubah menjadi PBI No. 6/24/PBI/2004 tangggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip syariah. Surat keputusan ini berisi seputar pengaturan pendirian, kelembagaan, dan operasi Bank Umum Syariah.
2.      SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 jo PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Dua aturan BI ini berhubungan dengan mekanisme pendirian, struktur organisasi, dan opersional Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
3.      PBI Nomor 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 jo PBI No. 7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah.
4.      PBI Nomor 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari tentang kliring bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional.
5.      PBI No 2/9/PBI2000tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Waadiah Bank Indonesia.
Beragam ketentuan dalam undang-undang dan ketentuan BI di atas menjadi salah penopang bagi kelangsungan operasi bank syariah dalam menjalankan usahanya. Sehingga, tidaklah mengherankan, bila pasca pemberlakuan undang-undang ini, pertumbuhan industri bank syariah mengalami peningkatan yang cukup pesat bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Hal ini lantaran peraturan yang ada memberikan peluang untuk untuk pengembangan jaringan perbankan syariah.
Secara umum, akomodasi terhadap prinsip syariah dalam undang-undang nomor 10 Tahun 1998 ini bertujuan untuk; pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya system perbankan syariah disamping system perbankan konevsensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas. Kedua, membuka peluang pembiayaan bagi bagi pengembangan usaha berdasarkan kemitraan, yakni mengedepankan prinsip antar investor yang harmonis (mutual investor relationship). Ketiga, memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memberikan rasa kenyamanan dan berkeadilan.[12]
Namun demikian, meskipun Undang-Undang ini telah mengakomodasi sistem perbankan syariah, tetapi ia sebatas menjelaskan pembiayaan berdasar prinsip syariah dan jenis-jenis prinsip syariah yang digunakan pada perbankan. Oleh karena itu, sejatinya dibutuhkan pengaturan yang lebih spesifik, selaras dengan karakteristik bank syariah, yakni mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam dalam sektor keuangan.

Periode Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Untuk mendukung dan memperkokoh keberadaan bank syariah, maka pada tanggal 18 Juli tahun 2008, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Undang – undang ini memuat secara khusus mengenai pengaturan tentang perbankan syariah secara komprehensif, yakni meliputi1) asas, tujuan dan fungsi, 2) perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar dan kepemilikan, 3) jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, 4). Pemegang sahama pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi dan tenaga kerja asing, 5) tata kelola, prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko perbankan syariah, 6) rahasia bank, 7) pembinaan dan pengawasan, hingga penyelesaian sengketa perbankan.[13]
Sebagaimana dipaparkan dalam penjelasannya, bahwa kehadiran undang-undang ini didasarkan atas pemikiran; pertama, memaksimalkan kontribusi seluruh elemn masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satunya adalah mengintegrasikan sistem ekonomi berdasarkan syariah ke dalama system Hukum Nasioanl. Kedua, prinsip bagi hasil yang dikembangkan perbankan syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat berbagi dalam memperoleh keuntungan maupun potensi risiko yang dapat timbul dari usahanya. Ketiga, perbankan syariah memerlukan pendukung vital berupa Undang – Undang yang mengatur secara spesifik bagi pengembangan lembaga tersebut.[14]
  Implikasi terpenting dari undang-undang ini bagi keberadaan dan pengembangan bank syariah adalah sebagai berikut;
Pertama, jaminan kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum menjadi landasan mendasar sekaligus penting bagi pelaku usaha, khususnya mereka yang menggunakan jasa perbankan syariah. Demikian pula, kepastian hukum demikian ini akan turut membantu para investor, baik local maupun asing, untuk turut menanamkan investasinya ke dalam perbankan syariah.
Kedua, pendingkatan dukungan pemerintah. Lahirnya undang-undang ini tentu akan semakin meningkatkan dukungan pemerintah yang lebih nyata dalam memajukan perbankan syariah. Tingkat dukungan pemerintah tersebut dapat berupa peningkatan sosialisasi kepada masyarakat luas yang belum memiliki pengetahuan yang memadai menyangkut perbankan syariah. Dengan adanya undang-undang ini, secara formal, sosialisasi perbankan syariah akan memasuki institusi-institusi formal, terutama dalam kurikulum di perguruan tinggi yang memuat materi tentang perbankan syariah. Selain itu, dukungan pemerintah dapat diwujudkan dalam mengundang investor, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mengembangkan industry perbankan di tanah air.[15]
Ketiga, terintegrasinya peran BI dan DPS. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, Undang-Undang ini juga mengatur tentang masalah kepatuhan syariah yang kewenangannya berada pada MUI dan direpresentasikan oleh DPS pada masing-masing Bank syariah dan UUS. Oleh karena itu, untuk menindaklanjuti implementasi fatwa MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite pengawas syariah. Komite ini beranggotan perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen agama, dan unsure masyarakat.[16]
 Dalam konteks pengembangan bank syariah, lahirnya Undang-Undang ini juga memberi peluang bagi bank syariah untuk memperluas pangsa pasarnya. Hal ini dapat dilihat dari beragam peluang yang menjadi dasar pengaturan perbankan syariahsebagai berikut;
Pertama, bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, sementara bank konvensional dan mengkonversi diri menjadi bank syariah.[17]
Kedua, penggabungan (merger) atau akuisisi antara bank syariah dengan bank konvensional wajib menjadi bank syaraih.[18]
Ketiga,   bank umum konvensional yang memiliki unit usaha syariah harus melakukan pemisahan (spin off) bilamana unit usaha syariah tersebut telah mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya, atau kegiatan unit usaha syariah tersebut telah berjalan selama lima belas tahun semenjak diberlakukannya undang-undang ini.[19]
Keempat, akselerasi pengembangan bank syariah dapat dilakukan secara cepat melalui kemungkinan pemilikan asing. Warga Negara asing dan/atau badan hukum asing yang tergabung secara kemitraan dalam badan hukum Indonesia dapat mendirikan dan/atau memiliki bank umum syariah.[20]
Selain potensi pengembangan usaha komersial melalui beragam peluang di atas, undang-undang ini juga menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul mal, yakni menerima dana yang berasal dari dana-dana zakat, infak dan sadaqah, hibah atau dana sosial lainnya, sekaligus menyalurkan dana-dana tersebut melalui organisasi pengelola zakat.[21]Demikian juga, bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial dari wakaf tunai dan menyalurkannya kepada lembaga pengelola wakaf (nadzir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).[22]   

Penutup  
Perkembangan regulasi mengenai kebijkan pengembangan perbankan syariah, sebagaimana dia paparkan di atas, memberi arah yang semakin baik bagi perbankan syariah. Kenyataan ini memberi peluang bagi kalangan perbankan syariah untuk semakin memantapkan proses penguatan dan pengembangan bank syariah. Setidaknya, penguatan karakter dasar, pemurnian operasi, proses sosialisasi, dan perluasan market, merupakan tantangan yang dapat segera diatasi pasca kepastian hukum yang telah dimiliki perbankan syariah.















Daftar Pustaka


Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Teori dan Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Chapra, M Umar.  Masa Depan ilmu Ekonomi : Tinjauan Islam . Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Huntington, Samuel P.  Benturan AntarPeradaban dan Masa Depan Politik Dunia, ter. M Sadat Ismail. Jogjakarta: Penerbit Qalam, 2001183.

Machmud, Amir  dan Rukmana. Bank Syariah: Teori, Kebijakan dan Syudi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.

Penjelasan atas UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Permataatmadja, Karnaen, et.al.  Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

PP tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, PP No. 72, LN No. 119 Tahun 1992, pasal 2.

SE. BI No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993.

Siddiqi, Nejatullah.  Bank Islam. Bandung: Pustaka, 1984.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.




[1] Beliau adalah salah satu dosen jurusan syariah di STAIN jember
[2] Samuel P Huntington, Benturan AntarPeradaban dan Masa Depan Politik Dunia, ter. M Sadat Ismail (Jogjakarta: Penerbit Qalam, 2001), 183.
[3] M Umar Chapra, Masa Depan ilmu Ekonomi : Tinjauan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 228.
[4] Nejatullah Siddiqi, Bank Islam (Bandung: Pustaka, 1984), 84-85
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Teori dan Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 21.
[6] Chapra, Masa Depan, 228.
[7] Secara ringkas perkembangan pendirian perbankan ini dapat diliha pada tulisan M Sayfii Antonio, Bank Syariah, 22-25.
[8] PP tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, PP No. 72, LN No. 119 Tahun 1992, pasal 2.
[9] Lihat: SE. BI No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993.
[10] Lihat pasal 1 huruf  (3&4) Undang-Undang Nnomor 10 Tahun 1998.
[11] Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
[12] Karnaen Permatadmadja, et.al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2001, 2006), 53-54.
[13] Lihat pengaturan pembahasan dalam bab – bab Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
[14] Lihat Penjelasan atas UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
[15] Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah: Teori, Kebijakan dan Syudi Empiris di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2010), 74.
[16] Lihat Penjelasan Umum Penjelasan atas UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

[17] Lihat pasal 5 ayat 7 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[18] Lihat pasal 17 ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[19] Lihat pasal 68 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[20] Lihat pasal 9 ayat 1 butir b UU Nomor 21 Tahun 2008.
[21] Lihat pasal 4 ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2008.
[22] Lihat pasal 4 ayat 3UU Nomor 21 Tahun 2008.

0 komentar:

Terpopuler