08.35

Peranan Perbankan Syari’ah Di Era Modern

Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) dalam kehidupan kita adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut identitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Secara garis besar, fungsi Bank Syariah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Sedangkang rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Disadari atau tidak memang pada beberapa tahun terakhir belakangan ini, perbankan syariah mulai banyak dilirik oleh masyarakat Indonesia. Bahkan peminat perbankan syari’ah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal itu disebabkan karena memang perbangkan syari’ah dinilai sangat menjanjikan dan tidak merugikan bagi para nasabahnya. Selain itu prospek untuk kedepan juga dinilai jelas dan tidaklah mengecewakan. Sehingga semakin tahun peranan perbankan syari’ah semakin diminati dan digemari oelh masyarakat Indonesia.
Di Yogyakarta sendiri misalnya, berawal dari semakin pesatnya laju pertumbuhan dan banyaknya minat para nasabah terhadap perbankan syari’ah, maka pada tahun 2008 ini, perbankan syari’ah akan mulai mengoperasikan tiga cabangnya. Tiga cabang yang akan beroperasi tahun ini yakni BPRS Dana Sejahtera, BPRS Mitra Amal Mulai, serta BPRS Mandiri Sejahtera. Ketiga cabang perbankan tersebut diharapkan agar mampu untuk mendobrak perekonomian Indonesia yang semakin hari semakin mengalami kemrosotan yang cukup drastis. Sehingga dikawatirkan perekonomian di Indonesia tidak bias pulih seperti biasanya.
Meskipun laju perkembangannya semakin pesat, namun tetap saja masih ada berbagai kendala yang menyebabkan lemahnya atau lambanya pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonisia untik ke depannya. Kendala yang paling utama yakni minimnya suplai sumber daya manusia (SDM) untuk perbankan syari’ah. Dengan keadan yang demikian maka untuk kedepanya perbankan syariah harus mencari tenaga ahli yang berkompetensi di bidangnya.
Maka dibutuhkan tenaga-tenaga ahli dan handal yang mampu untuk mengoperasikan pembangunan perbankan syari’ah kedepan secara sistematis. Agar perbankan syari’ah dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan harapan masyarakat indonesia, yakni untuk memakmurkan serta mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang sudah diambang kemiskinan. Semoga saja semua itu tidklah mimpi dan mampu berjalan sesuai prosedur yang ada.

Diambil Dari http://miftahblogspotcom.blogspot.com/2008/05/peranan-perbankan-syariah-di-era-modern.html

0 komentar:

Terpopuler